Sabtu, 21 Desember 2013

RU’YAH DENGAN ALAT OPTIK PRESPEKTIF SYARA’


PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Beberapa tahun terakhir ini, khusunya di Indonesia sering terjadi perbedaan penentuan tanggal satu, baik Ramadlan ataupun Syawal. Meskipun sebenarnya hal tersebut terjadi sejak berabad-abad lamanya, namun sangat mengetuk hati dan pikiran jika pada zaman seperti ini, ketika IPTEK sudah demikian maju, umat Islam masih kesulitan di dalam menentukan 1 bulan Qamariah.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah perbedaan penentuan awal bulan Syawal. Karena awal Syawal ini ditandai dengan ungkapan rasa syukur, gema takbir, tahlil dan tahlil. Oleh karena itu setiap orang akan segera tahu adanya perbedaan tersebut ketika  mereka menyaksikan perbedaaan 1 Syawal.
Dewasa ini, kita sudah berada pada era IPTEK yang cukup berkembang. Dan pada kenyataannya IPTEK telah berhasil meningkatkan kesejahteraan kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya. Tentu saja hal ini menuntut kita agar memiliki pola pikir yang berwawasan IPTEK.
Tingkat akurasi IPTEK dalam memprediksi berbagai masalah selama ini lebih mendekati kenyataan. Oleh sebab itu, wajar jika IPTEK menilai ru’yah banyak mengandung kelemahan sehingga perlu mendapatkan dukungan. Namun ternyata ru’yah dengan bantuan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) masih terdapat kontroversi dikalangan ulama. Maka dari itu dlam makalah ini, penulis akan mencoba menjelaskan mengenai ru’yah dengan alat bantu.
B.     Rumusan masalah
Dari latar belakang di atas, untuk mempermudah pembahasan makalah mengenai ru’yah dengan alat bantu menurut prespektif syar’i, maka penulis akan merumuskan masalah sebagai berikut:
a.       Apa pengertian dan dasar hukum ru’yah?
b.      Apa macam macam ru’yah?
c.       Bagaimanakah pandangan fiqh mengenai ru’yah degan alat bantu?

PEMBAHASAN
A.    Pengertian ru’yah
Kata Ru’yah secara harfiyah berasal dari kata Ra’a - Yara’ - Ru’yah berarti melihat. Arti yang paling umum adalah melihat dengan dengan mata kepala. Sedangkan yang dimaksud dengan Ru’yah Al-Hilal adalah melihat atau mengamati hilal pada saat matahari terbenam menjelang awal bulan kamariah dengan mata atau teleskop. Atau dalam astronomi sering disebut dengan Observasi.[1]
Sedangkan menurut Muhyidin Khazim ru’yah merupakan suatu kegiatan atau usaha melihat hilal atau bulan sabit di langit (ufuk) sebelah barat sesaat setelah matahari terbenam menjelang awal bulan baru, khususnya menjelang bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijah untuk menentukan kapan bulan baru tersebut dimulai. [2]
Adapun dalil-dalil syar’i yang menjelaskan anjuran tentang ru’yah antara lain sebagai berikut[3]:

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو 

الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Adam telah menceritakan kepaa kami, telah menceritakan kepada kami Syu’bah, menceritakan kepada kami Muhamad bin Ziyad berkata saya mendengar abu hurairoh RA berkata, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda berpuasalah kamu semua karena melihat hilal dan berbukalah kamu semua karena melihat hilal bila hilal tertutup atasmu maka sempurnakan bilangan bulan sya’ban tiga pulauh” (HR Muslim dari Abu Hurairoh)

B.     Macam-macam Ru’yah
1.      Ru’yah bil qolbi
Ru’yah bil Qolbi merupakan ru’yah yang hanya diperkirakan bahwa hilal sudah bisa terlihat. Ru’yah seperti ini tidak banyak dilakukan juga tidak banyak diikuti karena tidak ada pembuktian yang nyata dan ditakutkan akan menyesatkan.
2.      Ru’yah bil fi’li
Istilah ini terkenal dikalangan masyarakat indonesia yang berarti melihat atau mengamati hilal dengan mata ataupun dengan teleskop pada saat matahari terbenam menjelang bulan baru Qamariah.[4] Ru’yah bil fi’li merupakan sistem penentuan awal bulan Qamariah yang dilakukan pada masa Nabi Muhammad SAW dan para Sahabat. Karena pada masa tersebut cara-cara perhitungan Astronomi memang belum berkembang baik dan sistem tersebut adalah sarana dan metode yang paling mungkin dan paling mudah dilakukan sesuai dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan saat itu.
Ru’yah bil fi’li ini sering sekali mendapatkan kendala, karena ketika matahari terbenam atau sesaat setelah langit sebelah barat berwarna kuning kemerah-merahan, sehingga anatara cahaya hilal yang putih kekuning-kuningan dengan warna langit yang melatarbelakanginya tidak begitu kontras. Apalagi apabila di ufuk barat terdapat awan tipis atau awan tebal tidak merata atau bahkan bahkan orang yang melakukan rukyah tidak mengetahui posisi mana yang dimungkinkan hilal akan nampak, tentunya akan lebih mengalami kesulitan. [5]
Maka dari itu, atas dasar itulah agar maksud dan tujuan rukyah lebih optimal maka perlu dipergunakan rukyah bil ‘ilmi. Yaitu diperlukan persiapan-persiapan yang matang. Baik dari SDM rukyah, data hisab, atau alat peralatan dan perlengkapan rukyah yang memadai.
3.      Ru’yah bil ‘ilmi
Ru’yah bil ilmi merupakan ru’yah dengan ilmu pengetahuan. Seperti yang kita ketahui, bahwa hilal itu tidak selalu berbentuk sabit yang membentuk setengah lingkaran. Terkadang kondisi cuacapun ikut menjadi sebab tidak nampaknya hilal.  Sepertihalnya cuaca mendung, tertutup awan dan sebagainya sehingga hilal akan terlihat tidak jelas. Hal ini akan lebih mempersulit lagi untuk meru’yah hilal dengan mata telanjang.
Seiring dengan berkembangnya ilmu dan teknologi, permasalahan mengenai ru’yah hilal yang terkadang terkendala oleh cuaca mulai teratasi. Ru’yah yang semula hanya dengan mata telanjang bisa menggunakan alat bantu sehingga hasilnya lebih akurat dan memuaskan. Namun ketika keakurasian hilal telah diperoleh, ternyata ru’yah dengan alat bantu menuai berbagai kotroversi dari berbagai ulama.
C.     Ru’yah dengan alat bantu prespektif fiqh
Kelompok madzhab ru’yah menolak kehadiran teknologi untuk melihat hilal seperti dengan menggunakan teropong, theodolit dan semacamnya. Mereka berpendapat bahwa hadist Rosul mejelaskan bahwa ru’yah hilal itu dengan mata telanjang, seperti apa yang telah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW.[6] Akan tetapi tidak jarang bahwa ru’yah tanpa bantuan teknologi mengalami kesulitan. Maka dari itu bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan yang lebih maju akan mema’nai ru’yah dalam hadits dengan ma’na yang berbeda. Yaitu dengan ru’yah bil’ilmi atau rukyah dengan ilmu pengetahuan ( rukyah dengan alat bantu seperti teropong, theodolit, dan lain-lain).
Meru’yah dengan mata telanjang ternyata tidak lebih mudah dari menghisab. Bukan saja karena tertutup awan yang merupakan masalah utama bagi negara tropis seperti Indonesia ini. Tetapi juga faktor lain, misalnya polusi, sehingga dapat menyesatkan mata. Pernah terjadi ketika seseorang telah yakin dan disumpah bahwa telah meliahat hilal, padahal menurut hisab posisi bulan dalam keadaan yang tidak mungkin dapat diru’yah. Dan ternyata yang dilihat bukan bulan baru (hilal), melainkan planet venus atau benda langit lainnya. Hal seperti inilah yang menjadi alasan bahwa ru’yah mebutuhkan IPTEK, karena keterbatasan mata telanjang kita yang sering dipengaruhi oleh unsur subjektivitas. Maka dari itu dibantu dengan alat agar menjadi lebih subjektif dalam meru’yah.[7]
Sebagian ulama berpendapat bahwa ru’yah dengan alat bantu dibolehkan selama tidak menyimpang dari hakikat ru’yah itu sendiri, yaitu menyaksikan hilal secara langsung. Pengggunaan alat tersebut hanya sebatas untuk membantu mempermudah melihat hilal yang tertutup oleh awan, cuaca mendung, atau karena umur hilal yang masih muda. Namun sebagian ulama juga bependapat bahwa walaupun alat-alat tersebut membantu, namaun data-data hasil pengamatan itu belum pasti akaurat. Maka dari itu penggunan alat bantu harus dengan alat-alat yang benar-benar bisa dipercaya untuk melakukan ru’yatul hilal.
Di antara pendapat para Ulama mengenai boleh atau tidaknya pemakaian alat bantu optik adalah sebagai berikut[8]:
1.      Ibnu Hajar meyatakan bahwa tidak diperbolehkan ru’yah al hilal dengan cara pantulan permukaan kaca atau air.
2.      Asyarwani berpendapat bahwa menggunakan alat bantu seperti teropong dan sebagainya masih tergolong dalam kategori ru’yah.
3.      Al Muthi’i menegaskan bahwa penggunaan alat optik (nazharah) sebagai penolong dapat diizinkan karena yang melakukan penilaian terhadap hilal adalah mata peru’yah itu sendiri (‘ainul hilal ).  Fungsi alat hanya untuk membantu penglihatan dalam melihat yang jauhatau sesuatu yang kecil.
Hasan Basri selaku ketua MUI mengatakan bahwa ru’yah Al Hilal perlu menggunakan teknologi yang canggih. Bahkan beliau mengatakan bahwa teleskop merupak alat yang sangat penting untuk keberhasilan ru’yah, hal ini terbukti ketika ada seseorang yang berhasil melihat hilal di pelabuhan ratu, Jawa Barat. Belau juga menabahkan bahwa teleskop merupakan alat yang sangat canggih sekali karena dibuat oleh Puspitek (pusat penelitian ilmu dan teknologi). Selain itu beliau juga menghimbau agar ru’yah dengan teleskop dilakukan di seluruh pelosok tanah air.[9]








DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Susiknan, “ Hisab dan Rukyat”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Azhari , Susuknan, ” Ensiklopedi Hisab dan Ru’yah” Yogyakarta, pustaka pelajar, 2008
Hazim, Muhyiddin, “ Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktek” Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008
Maktabah Syamilah, Sahih Bukhari, hadits no. 1776, jus 6 Hlm. 481
Ruskanda , S. Farid, “Rukyah dengan Teknologi”, Jakarta: Gema Insani Press, 1994




[1] Susuknan Azhari” Ensiklopedi Hisab dan Ru’yah” Yogyakarta, pustaka pelajar, 2008, hal. 183
[2] Muhyiddin hazim “ Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktek” Yogyakarta: Buana Pustaka, 2008, hal. 173
[3] Maktabah Syamilah, “Sahih Bukhari”, hadits no. 1776, jus 6 Hlm. 481
[4] Susuknan Azhari, Op Cit, hal. 183
[5] Muhyiddin hazim, Op Cit, hal. 173-174.
[6] Susiknan Azhari,Op Cit , Hal. 69
[7] Ibid, hal. 63
[8] S. Farid Ruskanda, “Rukyah dengan Teknologi”, Jakarta: Gema Insani Press, 1994, hal.17
[9] Susiknan Azhari, Op Cit, hal117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar