Sabtu, 21 Desember 2013

PERKEMBANGAN ILMU FALAK PADA ZAMAN PRIMITIF YANG CONDONG KE EGOCENTRIS


PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Menurut bahasa (etimologi), Falak artinya orbit atau lintasan benda-benda langit, sehingga ilmu falak adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda-benda langit khususnya bumi, bulan dan matahari pada orbitnya masing-masing.[1]. Perlu kita ketahui bahwa ribuan tahun yang lalu ternyata Ilmu Falak sudah ada. Ilmu Falak atau Kosmografi adalah satu bagian dari Ilmu Bumi. Sehingga Ilmu Falak disebut juga Ilmu Bumi Pasti.[2] Dalam perkembangannya, manusia selalu memperhatikan kejadian-kejadian yang berada di sekitarnya. Sebagaimana pandangan manusia terhadap alam (kosmos) yang selalu  berubah-ubah sesuai dengan pengetahuan disetiap zamannya. Tepatnya pada abad ke- 30 SM, manusia juga telah mengenal pembagian hari dalam sepekan yang berjumlah 7 hari. Oleh karena itu tidak mengherankan jika manusia pada zaman purba telah mengenal bahkan mempelajari bintang-bintang dan planet-planet di persada alam ini.
            Seiring  dengan perkembangan zaman, maka muncul lah teori-teori tentang pusat benda-benda langit di jagad raya ini. Teori-teori tersebut diantaranya adalah Egocentris, Geocentris dan Heliocentris. Akan tetapi dalam makalah ini hanya akan menjelaskan tentang Perkembangan Ilmu Falak pada zaman primitif yang condong ke Egocentris.

B.       Rumusan Masalah

1.      Bagaimana sejarah awal perkembangan Ilmu Falak ?
2.      Apa pandangan manusia primitif tentang alam semesta ?
3.       Bagaimanakah paham dan pandangan tentang teori Egocentris ?

PEMBAHASAN

A.      Pandangan Manusia tentang alam semesta
Pada ribuan tahun lalu, ketika manusia melihat ke angkasa, mereka masih mempercayai apa yang mereka lihat sebagai suatu pertanda dari sang Dewa. Kedip cahaya diterjemahkan sebagai kabar akan datangnya sebuah takdir, kabar akan keberuntungan ataupun nasib sial. Hadirnya komet, gerhana matahari dan bulan dimaknai sebagai tafsiran akan datangnya suatu kejadian atau peristiwa.
           Orang mesir kuno menggunakan bintang sebagai sirius di belahan langit timur sebagai tanda akan datangnya banjir di sungai Nil. Masyarakat nusantara menggunakan rasi waluku (Orion) yang membentuk rangkaian bajak sawah tradisional sebagai pedoman untuk bercocok tanam, sedangkan Crux (Southen Cross) yang dikenal sebagai gubuk penceng digunakan oleh masyarakat sebagai navigasi dalam pelayaran.[3]
B.     Sejarah Awal Perkembangan Ilmu Falak
Sudah dimulai sejak abad 28 SM, Ilmu Falak telah menjadi Ilmu pengetahuan dan menjadi buah penyelidikan dan perhatian suatu bangsa, seperti di kerajaan Mesir, Mesopotamy, Babylon dan Tiongkok. Akan tetapi pengetahuan falak pada waktu itu masih merupakan suatu ilmu yang digunakan sebagai alat menghasilkan hitungan waktu untuk menyembah berhala (Tuhan mereka). Pembagian Minggu atas 7 hari sudah dilakukan sejak 5000 tahun, kemudian hari-hari yang tujuh itu diberi dengan nama-nama benda langit yaitu: Matahari untuk hari Ahad, Bulan untuk hari Senin, Bintang Mars untuk hari Selasa, Mercurius (‘Utharid) untuk hari Rabu, Jupiter (Musjtari) untuk hari Kamis, Venus (Zuharoh) untuk hari Jum’at dan Saturnus (Zuhal) untuk hari Sabtu.
           Kemudian pada abad ke 12 SM, Ilmu Falak di negeri Tiongkok telah mendapat kemajuan sehingga telah dapat menghitungkan Gerhana dan Jalan peredaran bintang-bintang.
           Di negeri Yunani pun, Ilmu Falak mendapat kedudukan sangat penting bahkan semakin diperluas terutama pada waktu negeri Yunani menginjak zaman keemasannya, zaman berkembangnya segala Ilmu pengetahuan, yaitu kira-kira pada abad ke-4 SM.[4]
           Pada tahun 773 M, seorang pengembara India menyerahkan sebuah buku data astronomi berjudul “Sindhind” atau “Sidhanta” kepada kerajaan Islam di Baghdad. Oleh khalifah Abu Ja’far al Mansur (719-775 M), diperintahkan agar buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Perintah ini dilakukan oleh Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari (w.796 M). Atas usahanya inilah al-Fazari dikenal sebagai ahli ilmu falak yang pertama di dunia islam.
           Setelah al-Fazari, pada abad 8 muncul Abu Ja’far Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780-847 M), sebagai ketua observatorium al-Makmun. Dengan mempelajari karya al-Fazari (terjemahan Sindhind), al-Khawarizmi berhasil sebagai orang pertama yang mengolah sistem penomoran India menjadi dasar operasional ilmu hitung. Dengan penemuan angka 0 (nol) India, maka terciptalah sitem pecahan desimal sebagai kunci terpenting dalam pengembangan ilmu pasti. Dia pulalah penyusun pertama tabel trigonometri Daftar Logaritma seperti yang ada sekarang ini.
           Disamping itu, Al-Khawarizmi menemukan bahwa zodiac atau ekliptika itu miring sebesar 23.5 derajat terhadap equator, serta memperbaiki data astronomis yang ada pada buku terjemahan “Sindhind”.[5]
C.      Paham Egocentris dan Pandangannya
Teori Egocentris berasal dari kata “ego” berarti saya dan “center” berarti pusat.[6] Jadi, teori egocentris adalah teori yang beranggapan bahwa manusia (saya) sebagai pusat dari segala yang ada di jagad raya ini. Teori ini lahir berdasarkan pengalaman manusia. Jika kita berdiri disuatu dataran yang luas, maka tampaklah kita, bahwa tempat kita berdiri ialah pusat dari suatu bidang lingkaran yang terbatas luasnya. Diatas kita nampaklah suatu bidang lengkung, yakni bidang lengkung bola langit. Jadi kita seakan-akan berdiri disuatu titik dalam sebuah “bola besar” dan tempat kita berdiri merupakan pusat bola itu. Yang kita lihat dari pada bola langit itu hanya separuh saja.
           Bangsa-bangsa yang telah mempelajari dan memperhatikan benda-benda langit itu dizaman purbakala (dan bangsa-bangsa yang primitif), menyangka bahwa orang yang meninjau kelangit sendirilah yang merupakan pusat dari segala-galanya. Memang jika kita berdiri disatu lapangan yang luas, seakan-akan sama jauhnya segala titik dari batas pemandangan (cakrawala atau kaki kita), dilihat dari tempat kita berdiri. Jadi kita sendirilah (sebenarnya mata kita) pusat bola langit.[7]
           Dan kalau jagad alam raya ini dianggap suatu lingkaran yang besar, maka dalam lingkaran itu akan didapati titik pusat lingkaran yang sangat banyak. Padahal sudah jelas, bahwa dalam satu lingkaran hanyalah memiliki satu titik pusat saja, tidak mungkin lebih. Oleh karena itu, setelah manusia lebih jauh menyelidiki secara Ilmu pengetahuan tentang alam raya ini, akhirnya anggapan atau teori egocentris tidak lagi dapat dipertahankan. Maka muncul lah pada abad ke-II sesudah Masehi, suatu teori kedua yang disebut teori Geocentris.[8]



DAFTAR PUSTAKA


Hambali, Slamet, 2012, Pengantar Ilmu Falak, Banyuwangi:Bismillah Publisher.
Khazin, Muhyiddin, 2004, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta:Buana Pustaka.
Muhamad Wardan, K.R., 1957, Kitab Ilmu Falak dan Hisab, Jogjakarta:Koleksi Jogja Astro Club (JAC).
Toruan, M.S.L., 1957, Pokok-pokok Ilmu Falak, Semarang:Banteng Timur.
Dikutip dari makalah mahasiswa Konsentrasi Ilmu Falak angkatan 2011.
           














[1] Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta:Buana Pustaka, 2004, hal. 1.
[2]M. S. L. Toruan, Pokok-pokok Ilmu Falak, Semarang:Banteng Timur, 1957, hal. 5.
[3]Dikutip dari makalah mahasiswa Konsentrasi Ilmu Falak angkatan 2011.
[4]K.R. Muhammad Wardan, Kitab Ilmu Falak dan Hisab, Jogjakarta:penerbit Koleksi Jogja Astro Club (JAC), 1957, hal 5.
[5] Muhyiddin Khazin, op. Cit. h. 23.
[6]Slamet Hambali, Pengantar Ilmu Falak, Banyuwangi:Bismillah Publisher, 2012, hal. 179.
[7]M. S. L. Toruan, op. cit. h. 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar