Selasa, 19 Maret 2013

QIYAS


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Dinamika hukum Islam dibentuk oleh adanya interaksi antara wahyu dan rasio. Itulah yang berkembang menjadi ijtihad. Upaya ilmiah menggali dan menemukan hukum bagi hal-hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara tersurat (manshus) dalam syariah (al-kitab wa sunnah).
          Seiring perkembangan masa, semakin banyak problem yang kita dapatkan dalam proses interaksi manusia. Kita ketahui bahwa al- qur’an dan hadist merupakan sumber hukum yang masih universal penjelasannya. Sehingga harus ada interpretasi yang lebih lanjut untuk merinci dalil-dalil agar bisa digali hukumnya. Disinilah eksistensi ijtihad para mujtahid diperlukan. Tidak bisa dipungkiri bahwa amalan para mujtahid masih sangat diperlukan dalam menginstinbathkan hukum syara. Sebab ada hal-hal tertentu dalam hukum syara` yang memang masih butuh penjelasan lebih lanjut.
          Qiyas sebagai salah satu produk ijtihad menjadi sangat penting mengingat makin banyak permasalahan baru dalam dunia islam yang berkaitan dengan syara` seiring dengan perkembangan zaman. Untuk itu penganalogian masalah hukum dengan tetap memperhatikan al-quran dan hadits sebagai acuan pokok menjadi sangat penting untuk menghindari perpecahan dan kebutaan umat terhadap perkara hukum syara`. Maka diperlukan Qiyas sebagai sumberhukum islam yang ke 4. olehnya itu, pada pembahasan makalah kami ini akan memaparkan sedikit tentang qiyas.

B.   Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka kita dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
1.    Pengertian Qiyas
2.    Dasar Hukum
3.    Rukun dan Syarat
4.    Kedudukan dan macam macam qiyas



BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Qiyas
Secara etimologis kata qiyas berarti (qodrun) artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan yang semisalnya, sedangkan menurut terminologi (istilah hukum), terdapat beberapa definisi berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantara definisi-definisi itu adalah[1] :
1.                    Menurut Abu Hasan Al Bashri, memberikan definisi :
Qiyas yaitu menghasilkan atau menetapkan hukum asal pada furu’ karena kedunya sama dalam ‘ilat                                    hukum menurut mujtahid.
2.      Menurut Ibnu Subhki dalam bukunya jam’ul Jawami’ memberikan definisi sebagai berikut:
Qiyas yaitu menghubungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaannnya dalam ‘ilat hukumnya menurut pihak yang menghubungkan (mujtahid).[2]
3.      Menurut Wahbah Zuhaili
Mendefinisikan qiyas yaitu menghubungkan (menyamakan hukum) sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan hukumnya, karena ada persamaan ‘ilat antara keduanya.[3]
4.      Pengetian Qiyas menurut Ulama Ushul
Ialah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada Nash nya dalam Al-qur’an dan Hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasakan nash, mereka juga membuat definisi, lain bahwa qiyas ialah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya, karena ada persamaan ilat hukumnya.[4]

Dari definisi-definisi diatas dapat diterangkan bahwa, Qiyas adalah salah satu kegiatan ijtihad mengenai suatu hukum yang tidak ditegaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapaun Qiyas yang dilakukan seorang mujtahid dengan meneliti alasan logis(‘ilat) dari rumusan hukum itu dan setelah itu diteliti pula keadaan ‘ilat yang sama, pada masalah lain yang tidak termaktub dalam Al-Qur’an dan As-sunnah. Bila benar ada kesamaan ‘ilatnya maka keras dugaan bahwa hukukmnya juga sama. Begitu juga yang dilakukan dalam berbagai praktek Qiyas.[5]
B.     Dasar Hukum Qiyas
Sebagian besar ‘ulama ahli fiqih dan para pengikut madzhab empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum ajaran Islam. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang kadar atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbatkan hukum. Hanya sebagian kecil para ‘ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang madzhab zahiri dan sebagian madzhab syi’ah.
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah ialah dalil yang bersumber dari Al-Quran, Al-Hadits, dan perbuatan sahabat.[6]
1.      Al-Quran

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (qs. An-nisaa:59)


Dari ayat diatas dapat diambil pengertian bahwa Allah SWT. Memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan Al-quran dan Hadits. Jika tidak ada dalam Al-quran dan Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikan kepada Al-quran dan Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau membandingkannya dengan yang terdapat di dalam Al-quran dan Hadits. Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya yaitu dengan melakukan qiyas.
2.      Al-Hadits
Setelah Rasulullah SAW. Melantik mu’adz bin jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:
Yang Arti dari hadits tersebut ialah: bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? mu’adz menjawab; akan aku tetapkan berdasarkan Al-quran. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-quran? Mu’adz berkata; akan aku tetapkan dengan sunah rasul.jika engkau tidak memperoleh sunah rasul? Muadz menjawab; aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh (muadz berkata); lalu Rasulullah saw. Menepuk dadanya dan berkata segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berkata sesuai dengan yang di ridhoi Allah dan Rasulnya. (HR. Ahmad Abu dawud dan Attirmidzi).
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seseorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum jika tidak menemukan ayat al-quran dan hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu, salahsatu diantaranya yaitu dengan menggunakan qiyas.
3.      Perbuatan Sahabat
Para sahabat nabi SAW banyak melakukan qias dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya seperti alasan pengangkatan khlafiah Abu Bakar. Menurut para sahabat abu bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah, dibanding sahabat-sahabat lain, karena dialah yang disuruh nabi saw mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasullullah SAW ridlo Abu Bakar menggantikan beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridlo jika abu bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.
Khalifah umar bin khatab pernah menulis surat kepada Abu musa al ashari yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil keputusan. Di antara isi surat beliau yaitu:
Artinya: “.......kemudian fahamlah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak di dapat dalam al qur’an dan sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu, dan carilah conth-contohnya. Kemudian berpganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah SWT dan ang pling sesuai dengan kebenaran..............”
C.      Rukun dan Syarat Qiyas
1.      Rukun Qiyas
 Adapun rukun-rukun qiyas ada empat macam:
1.    Al Ashl(الأصل)
Yaitu sumber hukum yang berupa nash-nash yang menjelaskan tentang hukum, atau wilayah tempat sumber hukum.
2.    Al far’(الفرع)
Yaitu sesuatu yang tidak ada ketentuan nash.
3.    Al Hukm (الحكم)
Hukum yang dipergunakan qiyas untuk memperluas hukum dari ashl ke far’ (cabang).
4.    Al ‘ilat(العلة)
Yaitu alsan serupa antara asal dan far’ ( cabang).[7]
2.      Syarat-Syarat Qiyas
1.      Maqis ‘alaih
Yaitu tempat mengqiyaskan sesuatu kepadanya. Sebagaian ulama ada yang berpendapat bahwa maqis alaih harus memenuhi syarat-syarat. Adapun syarat-syarat maqis ‘alih menurut sebagian ulama adalah:
a.       Harus ada dalil atau petunjuk yang membolehkan sesuatu kepadanya, baik secara nau’i atau syahsi(lingkungan yang sempit atau maksud terbatas).
b.      Harus ada kesepakatan ulama tentang adanya ‘ilat pada ashal Maqis ‘Alaih itu.
2.      Maqis
Yaitu sesuatu yang akan disamakan hukumnya dengan ashal. Untuk maqis ini terdapat beberapa Syarat. Sebagian dari syarat itu disepakati oleh para ulama dan sebagian lagi hanya dikemukakan oleh ulama tertentu. Syarat-syarat maqis itu adalah sebagai berikut:
Ø  ‘Ilat yang terdapat dalam Furu’, memiliki kesamaan dengan ilat yang terdapat pada ashal.
Ø  Harus ada kesamaan antara furu’ itu dengan ashal. Dalam hal ‘ilat maupun hukum
Ø  Ketetapan hukum pada furu’ itu tidak menyalahi dalil qat’i.
Ø  Tidak dapat “penentang” (hukum lain) yang lebih kuat terhadap hukum pada furu’ dan hukum dalam penentang itu berlawanan dengan ‘ilat Qiyas itu.
Ø  Furu’ itu tidak pernah diatur hukumnya dalam nas tertentu.
Ø  Furu’ (sebagai maqis) itu tidak mendahului ashal (sebagai maqis ‘alaih dalam keberadaanya.
3.      Hukum asal
Yaitu hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis ‘alaih yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash, dan hukum itu pula yang akan diberlakukan pada  furu’.
4.      ‘illat
Yaitu salah satu rukun atau unsure kias, bahkan merupakan unsure yang terpenting, karena adanya illat itllah yang menentukan adnya qiyas atau yang menentukan suatu hukum untuk dapat direntangkan kepada yang lain.[8]
D.   Kedudukan Qiyas Sebagai Hujjah
Dalam pandangan jumhur ulama, qiyas adalah hujjah syara’ atas hukum-hukum sebangsa perbuatan dan sebagai hujjah syara’ yang keempat. Artinya, apabila  hukum suatu peristiwa (kedua) itu tidak ditemukan adanya nash atau ijma’ sudah pasti memiliki kesamaan illat dengan peristiwa (pertama) yang ada nash hukumnya, maka peristiwa kedua diqiyaskan dengan masalah pertama dan dihukumi sama dengan hukum pada masalah pertama. Hukum itu menjadi ketetapan syara’ yang wajib diikuti dan diamalkan oleh mukallaf, sedangkan jumhur ulama itu disebut orang-orang yang menetapkan qiyas.[9]
Mengenai hal ini, kedudukan qiyas sebagai Hujjah para ulama berbeda pendapat. Ada sebagian ulama yang menetapkan qiyas sebagai salah satu sumber hukum, dan juga ada sebagian ulama yang menolaknya. Para ulama yang menetapkan kekuatan qiyas sebagai hujjah dengan mengambil dalil-dalil dari Al-quran, As-sunnah, pendapat dan perbuatan sahabat, juga illa-illat rasional.
Sedangkan diantara alasan yang paling kuat sebagian ulama yang menolak qiyas yaitu, mereka berpendapat bahwa qiyas itu didasarkan pada dugaan. Yakni illat hukum nash itu begini. Padahal sesuatu yang didasarkan pada dugaan hasilnya adalah dugaan. Allah swt. Mencegah kepada orang-orang yang mengikuti dugaan. Denngan firmannya:
Ÿwur  ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ  
“dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya” (surat al isro 36)
E.   Macam-macam Qiyas
1.    Qiyas Aula, yaitu illat yang terdapat pada qiyas (furu’) lebih aula daripada illat yang ada pada tempat mengqiyaskan. Oleh sebab itu hukum yang diqiyaskan lebih aula (besar) dan hukum yang pada tempat mengqiyaskan, seperti mengqiyaskan memukul kepada kata-kata yang kurang sopan terhadap ibu bapak karena illatnya menyakiti maka hukumnya sama-sama berdosa.
Maka jangan kamu katakan ces kepada kedua orangtuamu (ibu bapak). (Al-isra:23).
2.    Qiyas Musawi, yaitu illat yang terdapat pada qiyas furu’ sama dengan illat yang ada pada tempat mengqiyaskan (ashl) karena itu hukum keduanya sama. Seperti mengqiyaskan membakar harta anak yatim dengan memakannya, karena illatnya sama-sama menghabiskan (melenyapkan).
3.    Qiyas Dlalalah, yaitu illat yang ada pada qiyas yang menjadi dalil atau alasan bagi hukum tetapi tidak diwajibkan baginya (furu’). Seperti mengqiyaskan wajib zakat pada harta anak-anak kepada harta orang dewasa yang telah sampai senishab, tetapi bagi anak-anak tidak wajib mengeluarkan zakatnya diqiyaskan pada haji yang tidak diwajibkan atas anak-anak.
4.    Qiyas Syabah, yaitu menjadikan yang diqiyaskan (furu’0di kembalikan pada antara dua asal yang lebih banayak persamaan antara keduanaya seperti mengkiaskan budak dengan orang merdeka. karena sama-sama manusia, kemudian budak dapat pula diqiyaskan dengan harta benda, karena pada harta itu lebih banyak persamaannya dari pada manusia yang merdeka. Karena budak dapat dijual, diwariskan, diwakafkan, dan menjadi jaminan dalam suatu urusan. Jadi di sini furu’,, (budak) dapat dikembalikan kepafa dua asal yaitu :

1.      Manusia merdeka
2.      Harta kekayaan tetapi lebih banayak persamaannya dengan harta benda.
5.    Qiyas ‘Adwan, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashl meskipun qiyas itu memenuhi persyaratan. Umpamanya menqiyaskan apel kepada gandum dalam menentukannya riba fadhal bila dipertukarkan dengan barang yang sejenis. ‘ilatnya bahwa ia adalah makanan. Memeberlakukan hukum riba pada apel lebih rendah daripada berlakunya hukum riba pada gandum karena ‘ilatnya lebih kuat.  



BAB III
PENUTUP

1.      KESIMPULAN
              Dari uraian diatas pemakalah dapat menyimpulkan bahwa Qiyas adalah salah satu kegiatan ijtihad suatu hukum yang tidak ditegaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Para ulama mengambil dasar hukum tentang qiyas berdasarkan Al qur’an, hadits, dan perbuatan-perbuatan sahabat.
Adapun rukun-rukun qiyas yaitu ada 4 :
1.    Al Ashl(الأصل)
2.    Al far’(الفرع)
3.    Al Hukm ( الحكم)
4.    Al ‘ilat(العلة)
Adapun syarat-syarat Qiyas:
1.      Maqis ‘alaih ( المقيس عليه)
2.      Maqis( المقيس)
3.      Hukum asal
4.      Illat
5.      Kedudukan Qiyas
Macam-macam qiyas:
1.      Qiyas Aula
2.      Qiyas Musawa
3.      Qiyas Dlalalah
4.      Qiyas Syabah
5.      Qiyas ‘Adwan,
     Para ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahan qiyas sebagai sumber hukum islam. sebagian ulama ada yang menolak dan ada juga yang menerimanya dengan alasan-alasan mereka.

2.      KRITIK DAN SARAN
Demikianlah makalah ini kami buat, kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat kami butuhkan guna untuk perbaikan makalah kami pada masa mendatang. Tak ada gading yang tak retak, akhir kata mohon maaf yang sebesar-besarnya, apabila terdapat kesalahan dari segi pemaparan maupun isi serta kutipan-kutipan yang kami masukkan dalam makalah kami. Semoga makalah kami bermanfaat bagi kita semua. Amiiinn...


DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad Ushul Fiqh, Jakarta, pustaka firdaus, 2008
Effendi, Satria Ushul Fiqh, kencana, Jakarta, 2009
Mu’in umar dkk, ushul fiqih I, jakarta, Direktorat jenderal pembinaan kelembagaan
        agama islam DEPAG RI, 1985
Syarifuddin, Amir Ushul Fiqh 1, jakarta, kencana , 2009
Wahhab Khallaf, Abdul Ilmu ushul fiqih, Jakarta, pustaka amani, 2003
Zuhaili, wahbah Ushul Fiqh Al-Islami, Damaskus, darul fikr, 1996


[1] Amir Syarifuddin, USHUL FIQH 1, jakarta, kencana , 2009, hal.171
[2]Ibid.hal.172
[3]Wahbah Zuhaili, ushul fiqh al-islami, damaskus, darul fikr, 1996, hal. 603
[4]Muhammad Abu Zahrah, USHUL FIQH, Jakarta, pustakafirdaus, 2008, hal.336
[5]Satria Effendi, USHUL FIQH, kencana, Jakarta, 2009, hal.130
[6] Mu’in umar dkk, ushul fiqih I, jakarta, Direktorat jenderal pembinaan kelembagaan agama islam DEPAG RI, 1985, hal.109
[7]Op.Cithal. 351.
[8] Amir Syarifuddin, Log.Cit hal. 195
[9] Abdul wahhab khallaf, ilmu ushul fiqih, Jakarta, pustaka amani, 2003, hal.67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar