Selasa, 19 Maret 2013

AKURASI PENENTUAN AWAL BULAN DENGAN METODE PASANG SURUT AIR LAUT



                                                                           BAB I
PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG
       Hisab dan rukyah merupakan dua pendekatan yang digunakan dalam kajian ilmu falak. Seperti dalam menetukan waktu shalat, arah kiblat, gerhana bulan atau gerhana matahari, dan juga dalam penentuan awal bulan qamariyah ataupun syamsiah.
       Salah satu lahan hisab rukyah yang kerap diperdebatkan adalah dalam penentuan bulan qamariah, khususnya yaitu dalam menetukan awal Ramadlan, Syawal dan Dzulhidjah. Hampir setiap penentuan bualan ini terjadi permasalahan-permaslahan yang nyaris mengancam kesatuan dan persatuan umat.[1] Sebenarnya akar dari permasalahan ini adalah karena perbedaan mengenai penafsiran hadits yang di riwayatkan oleah imam Bukhari sebagai berikut:[2]
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Para ulama berbeda pendapat mengenai hadits di atas. Dari perbedaan tersebut, maka di indonesia lahirlah  dua madzhab yang besar. Atau sering kita kenal dengan madzhab   hisab dan rukyah.
       Namun akhir-akhir ini di Indonesia digemparkan lagi oleh berita-berita baik dari media cetak atau elektronik. Banyak aliran-aliran baru di indonesia yang muncul dalam masalah ini. Contohnya yaitu aliran Toriqat Naqsabandiyah, PERSIS, Islam Jawa (Aboge, Asapaon) Hisbut Tahrir, dan An-Nadzir. Masing-masing dari mereka mempunya interpretasi atau pemikiran tersendiri mengenai penentuan awal bulan qamariah. Sehingga pada prakteknya di indonesia selalu terjadi perbedaan dalam menetukan awal bulan, khususnya Ramadlan, Syawal dan Dzulhijah.
       Salah satu yang menurut penulis perlu dikaji yaitu mengenai metode penentuan awal bulan oleh aliran An-Nadzir yang terletak di  Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Jama’ah ini mempunyai keunikan sendiri dibanding dengan kelompok yang lain. Mereka mempunyai metode penentuan awal bulan dengan menggunakan metode yang sangat unik, yaitu dengan bantuan pasang surut air laut. Mungkin hal ini sangat tidak masuk akal, untuk menentukan awal bulan dengan melihat pasang surut air laut. Namun bagaimanakah pandangan ilmu astronomi dalam menyikapi metode yang dilakukan oleh golongan Annazir ini, apakah sesuai dengan ilmu astronomi? Ataukah malah bertentangan?

2.      RUMUSAN MASALAH
       Dari latar belakang di atas, maka penulis akan mencoba merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Siapakah yang menggunakan dan apa yang dimaksud dengan metode hisab pasang surut air laut ?
2.      Apakah pengertian pasang surut air laut?
3.      Bagaimanakah sistem hisab di Indonesia?
4.      Bagaimanakah analisa mengenai metode hisab penentuan awal bulan dengan pasang surut air laut?



BAB II
PEMBAHASAN
1.      Metode Penentuan Awal Bulan Dengan Pasang Surut Air Laut.
            Seperti yang telah penulis jelaskan di sub bab pendahuluan di atas, bahwa penentuan bulan komariyah di Indonesia sering sekali terjadi perbedaan setiap tahun. Selain karena perbedaan penafsiran hadits dan perbedaan metode penentuannya, faktor lain yang menyebabkan perbedaan ini juga karena kepercayaan dan kultur di Indonesia yang begitu beragam.
            Seperti halnya metode penentuan awal bulan yang dilakukan oleh salah satu jam’ah islam ini. Mungkin terdengar sangat aneh ketika kita mendengar metode penentuan awal bulan dengan gejala alam yaitu pasang surut air laut. Namun hal ini lah yang menjadi pedoman dan metode untuk menentukan awal bulan oleh jam’ah An-Nazir. Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa jama’ah An-nazir ini sesat. Hal ini dikarenakan ada yang janggal ketika mereka menentukan hukum dengan semau gue, dengan tidak mentolelir alat-alat modern atau teknologi untuk penentuan hukum. Jika ormas-ormas Islam, seperti NU dan Muhammadiyah menggunakan metode hisab (menghitung) dan rukyat (melihat) melalui teropong yang disediakan diantaranya di Masjid Agung Jawa Tengah untuk menentukan awal Ramadhan atau Syawal, tetapi jama’ah An-Nazir ini menggunakan cara lain, yakni melalui gejala alam laut pasang dan bulan sabit.[3]
            Rukyah dengan mata hati mereka yakini lebih bisa dipertanggung jawabkan daripada rukyah dengan alat teknologi. Mereka berkeyakinan jika laut pasang berarti bulan dan matahari berada pada posisi sejajar (Ijtimak) “Ketika laut pasang, itu berarti bulan dan matahari berada pada posisi sejajar,” ujar ustadz lukman selaku ketua aliran, seraya menambahkan bahwa gejala alam ini didukung dengan tanda-tanda alam lainnya, seperti bulan sabit yang sudah tidak nampak sejak hari sebelumnya sekitar pukul 2.00 dini hari.

Pasang surut air laut
            Pasang surut air laut adalah gejala fisik berupa naik turunnya permukaan laut yang selalu berulang dengan periode tertentu. Menurut Pariwono (1989), fenomena pasang surut diartikan sebagai naik turunnya muka laut secara berkala akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan terhadap massa air di bumi. Sedangkan menurut Dronkers (1964) pasang surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan. [4]
            Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pasang surut terjadi karena adanya gerakan dari benda-benda angkasa yaitu rotasi bumi pada sumbunya, peredaran bulan mengelilingi bumi, dan peredaran bulan mengelilingi matahari. Hal yang sangat mempengaruhi besar kecilnya pasang surut air laut adalah bulan. Meskipun ukuran bulan lebih kecil dari matahari, namun gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar dari pada gaya tarik matahari dalam membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan lebih dekat daripada jarak matahari ke bumi. Gerakan tersebut berlangsung dengan teratur mengikuti suatu garis edar  dan periode yang tertentu. Namun pengaruh dari pergerakan benda langit lain sangat kecil, sehingga tidak perlu diperhitungkan.
            Gaya pasang surut akan maksimum bila resultant gaya gravitasi antara bulan, bumi, dan matahari terletak pada suatu satu garis lurus. Keadaan seperti ini akan berlangsung saat bulan purnama dan bulan baru.[5] Naiknya permukaan air laut pada tanggal pertengahan suatu bulan disebut  Pasang Purnama.  Dan ini adalah pasang air laut yang tertinggi kedua dalam kurun waktu satu bulan. Sedangkan pasangnya air laut yang tertinggi adalah pasang air laut yang terjadi ketika terjadinya ijtima’ atau bulan baru. Dan hal inilah yang dipedomani oleh Jama’ah An nazir dalam menghitung awal bulan kamariyah.

2.      Hisab awal bulan komariyah di Indonesia
            Metode penentuan awal bulan dengan perhitungan hisab hakiki pada umumnya menetapkan hilal dianggap wujud  berdasarkan pada kriteria dasar yang sangat penting.  Pada sistem ini,  setidaknya terdapat dua aliran besar dalam menentukan awal bulan kamariyah,  yakni aliran yang berpegang pada aliran ijtimak semata,  dan aliran yang berpegang pada ijtima’ dan posisi hilal di atas ufuk.[6] Ijtimak disebut juga dengan iqtiran artinya “bersama” atau “kumpul” adalah suatu peristiwa saat bulan dan matahari terletak pada posisi garis bujur yang sama, bila dilihat dari arah timur dan barat. Dalam astronomi sering dikenal dengan nama Conjunction (konjungsi) atau New Moon.[7] Adapun aliran-aliran ijtimak adalah sebagai berikut:
a).  Aliran Ijtimak Semata
     Aliran ini menetapkan bahwa awal bulan kamariah dimulai ketika terjadi ijtimak (conjunction). Para pengikut aliran ini mengemukakan adagium yang terkenal “ijtima’ al-Nayyiroin ithbatun bayna al-Syahrayni”. Yakni bertemunya dua benda yang bersinar (matahari dan bulan) yang merupakan pemisah diantara dua bulan.  Kriteria awal bula (Newmoon) yang ditetapkan oleh aliran ijtimak semata ini sama sekali tidak memperhatikan rukyah artinya tidak mempermasalahkan hilal dapat terlihat atau tidak.  Dengan artian tidak mempedulikan hilal dapat dilihat ataupun tidak, ini membuktikan aliran ini semata-mata berpegangan pada astronomi murni. Karena dalam astronomi pergantian bulan semata-mata disebabkan adanya ijtimak.[8]
                 Pada saat menetukan awal bulan kamariah.  Aliran ini biasanya memadukan saat ijtimak tersebut dengan fenomena alam lain sehingga kriteria tersebut berkembang dan akomodatif.  Fenomena alam yang dihubungkan dengan saat ijtimak itu tidak hanya satu sehingga aliran ijtimak semata ini terbagi lagi menjadi aliran yang lebih kecil lagi[9]:
1)    Ijtimak Qabla al-Ghurub
Aliran ini memakai konsep ijtimak sebelum matahari terbenam. Jika ijtimak/konjungsi itu telah terjadi sebelum matahari terbenam,  maka pada malam hari tersebut sudah memasuki awal bulan baru (awal bulan berikutnya),  namun,  jika ijtimak itu terjadi pada malam hari,  maka hari esok masih menjadi hari terakhir bulan tersebut,  atau dapat dikatakan awal bulan terjadi pada lusa/hari berikutnya.  Aliran ini tidak mempersoalkan rukyah dapat terlihat ataupun tidak.  
2)    Ijtimak Qabla al-Fajr
Aliran ini memiliki metode yang sama dengan sebelumnya,  kondisi rukyah al-hilal dianggap tidak penting sepanjang persyaratan astronomisnya terpenuhi.  Hanya saja,  jika sebelumnya ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam,  konsep ini menetapkan awal bulan kamariah (awal bulan baru) jika peristiwa ijtimak terjadi sebelum terbit fajar.  Jika ijtimak terjadi setelah terbit fajar, maka hari tersebut masih hari terakhir pada bulan tersebut dan awal bulan baru terjadi pada hari berikutnya,  setelah fajar.   Aliran ini juga berpendapat bahwa saat ijtimak tidak ada sangkut pautnya dengan terbenam matahari.  
3)    Ijtimak dan Tengah Malam
Aliran ini berpedoman,  jika ijtimak terjadi sebelum tengah malam,  maka mulai tengah malam itu sudah masuk awal bulan baru/berikutnya.  Akan tetapi jika ijtimak terjadi setelah tengah malam,  maka malam tersebut,  masih termasuk hari terakhir pada bulan yang sama,  dan awal bulan ditetapkan pada tengah malam berikutnya. 
b).  Ijtima’ dan posisi hilal di atas ufuk
                 Kelompok ini menganggap bahwa awal bulan kamariah dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terjadi ijtimak dan hilal pada saat itu sudah berada di atas ufuk dan 2 macam tersebut itulah yang menjadi acuan penentu awal bulan kamariah.[10] Aliran ijtimak dan posisi hilal di atas ufuk ini kemudian terbagi menjadi tiga bagian.  Masing-masing memberikan interpretasi yang berbeda di atas ufuk.  Perbedaan ini dilandasi 2 masalah,  yakni:[11]
(1)  Ufuk/horizon yang dijadikan batas untuk mengukur apakah hilal sudah berada di atas ufuk atau belum pada saat terbenam matahari.
(2)  Penampakan hilal yang menjadi ukuran (visibilitas hilal).
Dari 2 hal tersebut,  maka lahirlah 4 aliran/kelompok,  yakni:
(1)  Ijtimak dan Ufuk Hakiki
                 Awal bulan kamariyah dimualai saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah berada diatas ufuk hakiki ( true horizon). Ufuk hakiki adalah lingkaran bola langit yang bidangnya melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada garis vertikal dari si peninjau, sedangkan posisi atau kedudukan hilal pada ufuk adalah posisi atau kedudukan titik pusat bulan pada ufuk hakiki. Jelasnya metode ini awal bulan komariyah dimulai pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtimak dan pada saat itu titik pusat bulan berada di atas ufuk hakiki.

(1). Ijtimak dan Ufuk Hissi
     Madzhab ini menetapkan awal bulan bila hilal telah wujud di atas ufuk hissi (bidang datar yang melewati mata si pengamat dan sejajar dengan ufuk hakiki),  pada saat matahari tenggelam pada akhir bulan yang sedang berjalan.  Madzhab hilal di atas ufuk hissi ini menggunakan bidang datar yang sejajar dengan ufuk hakiki yang berada pada permukaan bumi di mana pengamat berada.  Namun,  madzhab ini tidak terlalu populer dan sedikit yang menggunakannya. [12]

 (3).  Ijtimak dan Ufuk Mar’i
          Menetapkan awal bulan terjadi bila hilal telah wujud pada saat matahari terbenam, namun,  dasar perhitungannya menggunakan ufuq mar’i/visible horizon.  Selain itu,  diperhitungkan pula beberapa koreksi seperti refraksi,  parallax,  dan lain sebagainya. [13]







4. Anlisis Penulis
Secara ‘ilmiah metode hisab Annazir mempunyai metode yang hampir serupa dengan keilmuan astronomi,  yaitu pengetahuan tentang fase-fase bulan dan melihat pasang surut air laut.  Secara ilmiah fase-fase bulan ada delapan yang selalu berkaitan dengan penentuan awal bulan kamariyah. Dan mengenai pasang surut air laut,  dalam ilmu astronomi dijelaskan bahwa air laut akan mengalami pasang maksimal ketika bulan penuh (purnama) dan bulan baru (new moon).  Hal ini persis dengan konsep jama’ah An-nazir  yang menyatakan bahwa bulan baru bisa dinyatakan dengan melihat pasang maksimal air laut. Dengan artian tidak mempedulikan hilal dapat dilihat ataupun tidak, ini membuktikan aliran ini semata-mata berpegangan pada astronomi murni. Karena dalam astronomi pergantian bulan semata-mata disebabkan adanya ijtimak.
Menurut pendapat penulis sebenarnya hal tersebut bisa membuat kita untuk mencoba mengambil hal positif dari metode yang dimiliki oleh Annazir,  dan sesuai dengan pendapat yang diajukan oleh MUI bahwa kita tidak boleh terus menerus mengatakan Jama’ah Annazir sebagai aliran sesat,  mereka tidak sepenuhnya menyimpang,  mereka masih bisa kita ambil hal positifnya.  Dan sebaliknya sebagai umat beragama yang mempunyai pedoman masing-masing,  kita tidak boleh sembarangan menerima opini orang tentang suatu hukum syari’ah. 
Sebenarnya pedoman hisab rukyah an-Nadir dalam menentukan awal bulan khususnya ketika bulan Ramadlan adalah aliran ijtimak dalam artian penentuannya menggunakan pemantauan terhadap ijtimaknya dua benda langit, matahari dan bulan, namun obyek yang mereka jadikan acuan tidak melihat bulan melainkan melihat pasang surutnya air laut. Di mana pasang surutnya air laut dapat menentukan kapan terjadinya ijtimak.


BAB III
PENUTUP
1.      KESIMPULAN
            Pasang surut air laut adalah gejala fisik berupa naik turunnya permukaan laut yang selalu berulang dengan periode tertentu.  pasang surut terjadi karena adanya gerakan dari benda-benda angkasa yaitu rotasi bumi pada sumbunya, peredaran bulan mengelilingi bumi, dan peredaran bulan mengelilingi matahari. Hal yang sangat mempengaruhi besar kecilnya pasang surut air laut adalah bulan. Meskipun ukuran bulan lebih kecil dari matahari, namun gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar dari pada gaya tarik matahari dalam membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan lebih dekat daripada jarak matahari ke bumi.
            Gaya pasang surut akan maksimum bila resultant gaya gravitasi antara bulan, bumi, dan matahari terletak pada suatu satu garis lurus. Keadaan seperti ini akan berlangsung saat bulan purnama dan bulan baru.  Naiknya permukaan air laut pada tanggal pertengahan suatu bulan disebut  Pasang Purnama.  Dan ini adalah pasang air laut yang tertinggi kedua dalam kurun waktu satu bulan. Sedangkan pasangnya air laut yang tertinggi adalah pasang air laut yang terjadi ketika terjadinya ijtima’ atau bulan baru. Dan hal inilah yang dipedomani oleh Jama’ah An nazir dalam menghitung awal bulan kamariyah.
            Sebenarnya pedoman hisab rukyah an-Nadir dalam menentukan awal bulan khususnya ketika bulan Ramadlan adalah aliran ijtimak dalam artian penentuannya menggunakan pemantauan terhadap ijtimaknya dua benda langit, matahari dan bulan, namun obyek yang mereka jadikan acuan tidak melihat bulan melainkan melihat pasang surutnya air laut. Di mana pasang surutnya air laut dapat menentukan kapan terjadinya ijtimak. Dengan artian tidak mempedulikan hilal dapat dilihat ataupun tidak, ini membuktikan aliran ini semata-mata berpegangan pada astronomi murni. Karena dalam astronomi pergantian bulan semata-mata disebabkan adanya ijtimak.



BAB IV
PENUTUP

Demikianlah makalah ini penulis buat, semoga dapat  bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya . Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, karena di dalamnya masih terdapat banyak kesalahan. Penulis hanya dapat mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada para pembaca dan Ibu Wenty Dwi Yuniarti, S pd. M. Kom selaku dosen pengampu mata kuliah Metodologi Studi Sains. sekaligus mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, demi perbaikan makalah-makalah penulis yang selanjutnya


DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Susiknan, Ilmu Falak (Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern), Yogyakarta: Suara Muhamadiyah, 2007.
Ardi, Hesti Yozevta, Dinamika Penentuan Awal Bulan Qamariyah Menurut Jam;ah An-Nazir, Skripsi, Program Sarjana IAIN Walisongo: Semarang.
Khazin, Muhyiddin kamus ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka 2005
Khazim, Muhyiddin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta : Buana Pustaka,
Izzuddin, Ahmad, Fiqih Hisab Rukyah menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Idul Fitri dan Idul Adha, Jakarta: Erlangga, 2007
Maktabah Syamilah, Sahih Bukhari, hadits no. 1776, jus 6 Hlm. 481
http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/22/hisab-rukyah-an-nadzir-dalam-penentuan-awal-bulan/
http://sbr.gafatar.org/proses-terjadinya-pasang-surut-air-laut/


[1] Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyah menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Idul Fitri dan Idul Adha, Jakarta: Erlangga, 2007 Hlm.2
[2] Maktabah Syamilah, Sahih Bukhari, hadits no. 1776, jus 6 Hlm. 481
[3] http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/22/hisab-rukyah-an-nadzir-dalam-penentuan-awal-bulan/

[4] http://sbr.gafatar.org/proses-terjadinya-pasang-surut-air-laut/
[5] Muhyiddin Khazin, kamus ilmu Falak, Buana Pustaka: Yogyakarta,  2005, Hal. 3
[6] Susiknan Azhari,  Ilmu Falak (Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern), Yogyakarta:Suara Muhamadiyah, 2007 hal.106
[7] Muhyiddin Khazim, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta: Buana Pustaka, 2004,  hal.138
[8] Hesti Yozevta Ardi, Dinamika Penentuan Awal Bulan Qamariyah Menurut Jam;ah An-Nazir, Skripsi, Program Sarjana IAIN Walisongo: Semarang.  Hlm 40
[9] Susiknan Azhari,  Ilmu Falak (Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern). Op. Cit. hal. 107
[10]  Susiknan Azhari,  Ilmu Falak (Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern). Ibid. hal. 108
[11] Susiknan Azhari,  Ilmu Falak (Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern),  ibid.  hlm 109
[12]  Ibid. Hal. 110
[13] Ibid.   Hal.

1 komentar:

  1. rukyah sekarang ini kok berbeda ya di indonesia, yang golongan ini hari ini, trus golongan lain hari lain, padahal posisinya kan sama, di indonesia juga, bingung dengan cara melihat masing2

    BalasHapus