PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Beberapa tahun terakhir ini, khusunya di Indonesia sering terjadi
perbedaan penentuan tanggal satu, baik Ramadlan ataupun Syawal. Meskipun
sebenarnya hal tersebut terjadi sejak berabad-abad lamanya, namun sangat
mengetuk hati dan pikiran jika pada zaman seperti ini, ketika IPTEK sudah
demikian maju, umat Islam masih kesulitan di dalam menentukan 1 bulan Qamariah.
Yang lebih memprihatinkan lagi adalah perbedaan penentuan awal
bulan Syawal. Karena awal Syawal ini ditandai dengan ungkapan rasa syukur, gema
takbir, tahlil dan tahlil. Oleh karena itu setiap orang akan segera tahu adanya
perbedaan tersebut ketika mereka
menyaksikan perbedaaan 1 Syawal.
Dewasa ini, kita sudah berada pada era IPTEK yang cukup berkembang.
Dan pada kenyataannya IPTEK telah berhasil meningkatkan kesejahteraan kehidupan
manusia dalam berbagai aspeknya. Tentu saja hal ini menuntut kita agar memiliki
pola pikir yang berwawasan IPTEK.
Tingkat akurasi IPTEK dalam memprediksi berbagai masalah selama ini
lebih mendekati kenyataan. Oleh sebab itu, wajar jika IPTEK menilai ru’yah
banyak mengandung kelemahan sehingga perlu mendapatkan dukungan. Namun ternyata
ru’yah dengan bantuan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) masih terdapat
kontroversi dikalangan ulama. Maka dari itu dlam makalah ini, penulis akan
mencoba menjelaskan mengenai ru’yah dengan alat bantu.
B.
Rumusan
masalah
Dari latar belakang di atas, untuk mempermudah pembahasan makalah
mengenai ru’yah dengan alat bantu menurut prespektif syar’i, maka penulis akan
merumuskan masalah sebagai berikut:
a.
Apa pengertian
dan dasar hukum ru’yah?
b.
Apa
macam macam ru’yah?
c.
Bagaimanakah
pandangan fiqh mengenai ru’yah degan alat bantu?
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
ru’yah
Kata Ru’yah secara harfiyah berasal dari kata Ra’a - Yara’ -
Ru’yah berarti melihat. Arti yang paling umum adalah melihat
dengan dengan mata kepala. Sedangkan yang dimaksud dengan Ru’yah Al-Hilal
adalah melihat atau mengamati hilal pada saat matahari terbenam menjelang awal
bulan kamariah dengan mata atau teleskop. Atau dalam astronomi sering disebut
dengan Observasi.[1]
Sedangkan menurut Muhyidin Khazim ru’yah merupakan suatu kegiatan
atau usaha melihat hilal atau bulan sabit di langit (ufuk) sebelah barat sesaat
setelah matahari terbenam menjelang awal bulan baru, khususnya menjelang bulan
Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijah untuk menentukan kapan bulan baru tersebut
dimulai. [2]
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ قَالَ أَبُو
الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Adam telah menceritakan kepaa kami, telah menceritakan kepada kami
Syu’bah, menceritakan kepada kami Muhamad bin Ziyad berkata saya mendengar abu
hurairoh RA berkata, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda berpuasalah kamu semua
karena melihat hilal dan berbukalah kamu semua karena melihat hilal bila hilal
tertutup atasmu maka sempurnakan bilangan bulan sya’ban tiga pulauh” (HR Muslim
dari Abu Hurairoh)
B.
Macam-macam
Ru’yah
1.
Ru’yah
bil qolbi
Ru’yah bil Qolbi merupakan ru’yah yang hanya diperkirakan bahwa
hilal sudah bisa terlihat. Ru’yah seperti ini tidak banyak dilakukan juga tidak
banyak diikuti karena tidak ada pembuktian yang nyata dan ditakutkan akan menyesatkan.
2.
Ru’yah
bil fi’li
Istilah ini terkenal dikalangan masyarakat indonesia yang berarti
melihat atau mengamati hilal dengan mata ataupun dengan teleskop pada saat
matahari terbenam menjelang bulan baru Qamariah.[4]
Ru’yah bil fi’li merupakan sistem penentuan awal bulan Qamariah yang dilakukan
pada masa Nabi Muhammad SAW dan para Sahabat. Karena pada masa tersebut
cara-cara perhitungan Astronomi memang belum berkembang baik dan sistem
tersebut adalah sarana dan metode yang paling mungkin dan paling mudah
dilakukan sesuai dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan saat itu.
Ru’yah bil fi’li ini sering sekali mendapatkan kendala, karena
ketika matahari terbenam atau sesaat setelah langit sebelah barat berwarna
kuning kemerah-merahan, sehingga anatara cahaya hilal yang putih
kekuning-kuningan dengan warna langit yang melatarbelakanginya tidak begitu
kontras. Apalagi apabila di ufuk barat terdapat awan tipis atau awan tebal
tidak merata atau bahkan bahkan orang yang melakukan rukyah tidak mengetahui posisi
mana yang dimungkinkan hilal akan nampak, tentunya akan lebih mengalami
kesulitan. [5]
Maka dari itu, atas dasar itulah agar maksud dan tujuan rukyah
lebih optimal maka perlu dipergunakan rukyah bil ‘ilmi. Yaitu diperlukan
persiapan-persiapan yang matang. Baik dari SDM rukyah, data hisab, atau alat
peralatan dan perlengkapan rukyah yang memadai.
3.
Ru’yah
bil ‘ilmi
Ru’yah bil ilmi merupakan ru’yah dengan ilmu pengetahuan. Seperti
yang kita ketahui, bahwa hilal itu tidak selalu berbentuk sabit yang membentuk
setengah lingkaran. Terkadang kondisi cuacapun ikut menjadi sebab tidak
nampaknya hilal. Sepertihalnya cuaca
mendung, tertutup awan dan sebagainya sehingga hilal akan terlihat tidak jelas.
Hal ini akan lebih mempersulit lagi untuk meru’yah hilal dengan mata telanjang.
Seiring dengan berkembangnya ilmu dan teknologi, permasalahan
mengenai ru’yah hilal yang terkadang terkendala oleh cuaca mulai teratasi. Ru’yah
yang semula hanya dengan mata telanjang bisa menggunakan alat bantu sehingga
hasilnya lebih akurat dan memuaskan. Namun ketika keakurasian hilal telah
diperoleh, ternyata ru’yah dengan alat bantu menuai berbagai kotroversi dari
berbagai ulama.
C.
Ru’yah
dengan alat bantu prespektif fiqh
Kelompok madzhab ru’yah menolak kehadiran teknologi untuk melihat
hilal seperti dengan menggunakan teropong, theodolit dan semacamnya. Mereka berpendapat
bahwa hadist Rosul mejelaskan bahwa ru’yah hilal itu dengan mata telanjang,
seperti apa yang telah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW.[6] Akan
tetapi tidak jarang bahwa ru’yah tanpa bantuan teknologi mengalami kesulitan.
Maka dari itu bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan yang lebih maju akan
mema’nai ru’yah dalam hadits dengan ma’na yang berbeda. Yaitu dengan ru’yah
bil’ilmi atau rukyah dengan ilmu pengetahuan ( rukyah dengan alat bantu seperti
teropong, theodolit, dan lain-lain).
Meru’yah dengan
mata telanjang ternyata tidak lebih mudah dari menghisab. Bukan saja karena
tertutup awan yang merupakan masalah utama bagi negara tropis seperti Indonesia
ini. Tetapi juga faktor lain, misalnya polusi, sehingga dapat menyesatkan mata.
Pernah terjadi ketika seseorang telah yakin dan disumpah bahwa telah meliahat
hilal, padahal menurut hisab posisi bulan dalam keadaan yang tidak mungkin
dapat diru’yah. Dan ternyata yang dilihat bukan bulan baru (hilal),
melainkan planet venus atau benda langit lainnya. Hal seperti inilah yang menjadi
alasan bahwa ru’yah mebutuhkan IPTEK, karena keterbatasan mata telanjang kita
yang sering dipengaruhi oleh unsur subjektivitas. Maka dari itu dibantu dengan
alat agar menjadi lebih subjektif dalam meru’yah.[7]
Sebagian ulama berpendapat bahwa ru’yah dengan alat bantu
dibolehkan selama tidak menyimpang dari hakikat ru’yah itu sendiri, yaitu
menyaksikan hilal secara langsung. Pengggunaan alat tersebut hanya sebatas
untuk membantu mempermudah melihat hilal yang tertutup oleh awan, cuaca
mendung, atau karena umur hilal yang masih muda. Namun sebagian ulama juga
bependapat bahwa walaupun alat-alat tersebut membantu, namaun data-data hasil
pengamatan itu belum pasti akaurat. Maka dari itu penggunan alat bantu harus dengan
alat-alat yang benar-benar bisa dipercaya untuk melakukan ru’yatul hilal.
Di antara pendapat para Ulama mengenai boleh atau tidaknya
pemakaian alat bantu optik adalah sebagai berikut[8]:
1.
Ibnu
Hajar meyatakan bahwa tidak diperbolehkan ru’yah al hilal dengan cara pantulan
permukaan kaca atau air.
2.
Asyarwani
berpendapat bahwa menggunakan alat bantu seperti teropong dan sebagainya masih
tergolong dalam kategori ru’yah.
3.
Al
Muthi’i menegaskan bahwa penggunaan alat optik (nazharah) sebagai
penolong dapat diizinkan karena yang melakukan penilaian terhadap hilal adalah
mata peru’yah itu sendiri (‘ainul hilal ). Fungsi alat hanya untuk membantu penglihatan
dalam melihat yang jauhatau sesuatu yang kecil.
Hasan Basri selaku ketua MUI mengatakan bahwa ru’yah Al Hilal perlu
menggunakan teknologi yang canggih. Bahkan beliau mengatakan bahwa teleskop
merupak alat yang sangat penting untuk keberhasilan ru’yah, hal ini terbukti
ketika ada seseorang yang berhasil melihat hilal di pelabuhan ratu, Jawa Barat.
Belau juga menabahkan bahwa teleskop merupakan alat yang sangat canggih sekali
karena dibuat oleh Puspitek (pusat penelitian ilmu dan teknologi). Selain itu
beliau juga menghimbau agar ru’yah dengan teleskop dilakukan di seluruh pelosok
tanah air.[9]
DAFTAR PUSTAKA
Azhari,
Susiknan, “ Hisab dan Rukyat”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Azhari ,
Susuknan, ” Ensiklopedi Hisab dan Ru’yah” Yogyakarta, pustaka pelajar, 2008
Hazim,
Muhyiddin, “ Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktek” Yogyakarta: Buana Pustaka,
2008
Maktabah
Syamilah, Sahih Bukhari, hadits no. 1776, jus 6 Hlm. 481
Ruskanda , S.
Farid, “Rukyah dengan Teknologi”, Jakarta: Gema Insani Press, 1994
[1] Susuknan
Azhari” Ensiklopedi Hisab dan Ru’yah” Yogyakarta, pustaka pelajar, 2008, hal.
183
[2]
Muhyiddin hazim “ Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktek” Yogyakarta: Buana
Pustaka, 2008, hal. 173
[3] Maktabah
Syamilah, “Sahih Bukhari”, hadits no. 1776, jus 6 Hlm. 481
[4] Susuknan
Azhari, Op Cit, hal. 183
[5]
Muhyiddin hazim, Op Cit, hal. 173-174.
[6] Susiknan
Azhari,Op Cit , Hal. 69
[7] Ibid,
hal. 63
[8] S. Farid
Ruskanda, “Rukyah dengan Teknologi”, Jakarta: Gema Insani Press, 1994, hal.17
[9] Susiknan
Azhari, Op Cit, hal117
Tidak ada komentar:
Posting Komentar