PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Hisab dan rukyah merupakan dua pendekatan yang digunakan
dalam kajian ilmu falak. Seperti dalam menetukan waktu shalat, arah kiblat,
gerhana bulan atau gerhana matahari, dan juga dalam penentuan awal bulan
qamariyah ataupun syamsiah.
Salah satu lahan hisab rukyah yang kerap diperdebatkan adalah
dalam penentuan bulan qamariah, khususnya yaitu dalam menetukan awal Ramadlan,
Syawal dan Dzulhidjah. Hampir setiap penentuan bualan ini terjadi
permasalahan-permaslahan yang nyaris mengancam kesatuan dan persatuan umat.[1]
Sebenarnya akar dari permasalahan ini adalah karena perbedaan mengenai
penafsiran hadits yang di riwayatkan oleah imam Bukhari sebagai
berikut:[2]
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
زِيَادٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ قَالَ
قَالَ أَبُو الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ
وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ
شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
Para ulama berbeda pendapat
mengenai hadits di atas. Dari perbedaan tersebut, maka di indonesia
lahirlah dua madzhab yang besar. Atau
sering kita kenal dengan madzhab hisab
dan rukyah.
Namun akhir-akhir ini di Indonesia digemparkan lagi oleh
berita-berita baik dari media cetak atau elektronik. Banyak aliran-aliran baru
di indonesia yang muncul dalam masalah ini. Contohnya yaitu aliran Toriqat
Naqsabandiyah, PERSIS, Islam Jawa (Aboge, Asapaon) Hisbut Tahrir, dan
An-Nadzir. Masing-masing dari mereka mempunya interpretasi atau pemikiran tersendiri
mengenai penentuan awal bulan qamariah. Sehingga pada prakteknya di indonesia
selalu terjadi perbedaan dalam menetukan awal bulan, khususnya Ramadlan, Syawal
dan Dzulhijah.
Salah satu yang menurut penulis perlu dikaji yaitu mengenai
metode penentuan awal bulan oleh aliran An-Nadzir yang terletak di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Jama’ah ini
mempunyai keunikan sendiri dibanding dengan kelompok yang lain. Mereka
mempunyai metode penentuan awal bulan dengan menggunakan metode yang sangat
unik, yaitu dengan bantuan pasang surut air laut. Mungkin hal ini sangat tidak
masuk akal, untuk menentukan awal bulan dengan melihat pasang surut air laut.
Namun bagaimanakah pandangan ilmu astronomi dalam menyikapi metode yang
dilakukan oleh golongan Annazir ini, apakah sesuai dengan ilmu astronomi?
Ataukah malah bertentangan?
2.
RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang di atas, maka penulis
akan mencoba merumuskan masalah sebagai berikut:
1.
Siapakah yang menggunakan
dan apa yang dimaksud dengan metode hisab pasang surut air laut ?
2.
Apakah pengertian pasang
surut air laut?
3.
Bagaimanakah sistem hisab
di Indonesia?
4. Bagaimanakah analisa mengenai metode hisab penentuan awal bulan
dengan pasang surut air laut?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Metode Penentuan Awal Bulan Dengan Pasang Surut Air Laut.
Seperti yang
telah penulis jelaskan di sub bab pendahuluan di atas, bahwa penentuan bulan
komariyah di Indonesia sering sekali terjadi perbedaan setiap tahun. Selain
karena perbedaan penafsiran hadits dan perbedaan metode penentuannya, faktor
lain yang menyebabkan perbedaan ini juga karena kepercayaan dan kultur di Indonesia
yang begitu beragam.
Seperti halnya metode penentuan awal bulan
yang dilakukan oleh salah satu jam’ah islam ini. Mungkin terdengar sangat aneh
ketika kita mendengar metode penentuan awal bulan dengan gejala alam yaitu pasang
surut air laut. Namun hal ini lah yang menjadi pedoman dan metode untuk menentukan
awal bulan oleh jam’ah An-Nazir. Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa jama’ah
An-nazir ini sesat. Hal ini dikarenakan ada yang janggal ketika mereka
menentukan hukum dengan semau gue, dengan tidak mentolelir alat-alat
modern atau teknologi untuk penentuan hukum. Jika ormas-ormas Islam, seperti NU
dan Muhammadiyah menggunakan metode hisab (menghitung) dan rukyat (melihat)
melalui teropong yang disediakan diantaranya di Masjid Agung Jawa Tengah untuk
menentukan awal Ramadhan atau Syawal, tetapi jama’ah An-Nazir ini menggunakan
cara lain, yakni melalui gejala alam laut pasang dan bulan sabit.[3]
Rukyah dengan
mata hati mereka yakini lebih bisa dipertanggung jawabkan daripada rukyah
dengan alat teknologi. Mereka berkeyakinan jika laut pasang berarti bulan dan
matahari berada pada posisi sejajar (Ijtimak) “Ketika laut pasang, itu berarti
bulan dan matahari berada pada posisi sejajar,” ujar ustadz lukman selaku ketua
aliran, seraya menambahkan bahwa gejala alam ini didukung dengan tanda-tanda
alam lainnya, seperti bulan sabit yang sudah tidak nampak sejak hari sebelumnya
sekitar pukul 2.00 dini hari.
Pasang
surut air laut
Pasang surut air laut adalah gejala fisik
berupa naik turunnya permukaan laut yang selalu berulang dengan periode
tertentu. Menurut Pariwono (1989), fenomena pasang surut diartikan sebagai naik
turunnya muka laut secara berkala akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa
terutama matahari dan bulan terhadap massa air di bumi. Sedangkan menurut
Dronkers (1964) pasang surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan naik
turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya
gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh
matahari, bumi dan bulan. [4]
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pasang surut terjadi karena adanya gerakan
dari benda-benda angkasa yaitu rotasi bumi pada sumbunya, peredaran bulan
mengelilingi bumi, dan peredaran bulan mengelilingi matahari. Hal yang sangat
mempengaruhi besar kecilnya pasang surut air laut adalah bulan. Meskipun ukuran
bulan lebih kecil dari matahari, namun gaya tarik gravitasi bulan dua kali
lebih besar dari pada gaya tarik matahari dalam membangkitkan pasang surut laut
karena jarak bulan lebih dekat daripada jarak matahari ke bumi. Gerakan
tersebut berlangsung dengan teratur mengikuti suatu garis edar dan periode yang tertentu. Namun pengaruh
dari pergerakan benda langit lain sangat kecil, sehingga tidak perlu
diperhitungkan.
Gaya pasang
surut akan maksimum bila resultant gaya gravitasi antara bulan, bumi, dan
matahari terletak pada suatu satu garis lurus. Keadaan seperti
ini akan berlangsung saat bulan purnama dan bulan baru.[5] Naiknya
permukaan air laut pada tanggal pertengahan suatu bulan disebut Pasang Purnama. Dan ini adalah pasang air laut yang tertinggi
kedua dalam kurun waktu satu bulan. Sedangkan pasangnya air laut yang tertinggi
adalah pasang air laut yang terjadi ketika terjadinya ijtima’ atau bulan
baru. Dan hal inilah yang dipedomani oleh Jama’ah An nazir dalam menghitung
awal bulan kamariyah.
2. Hisab awal bulan komariyah di Indonesia
Metode penentuan awal bulan dengan perhitungan
hisab hakiki pada umumnya menetapkan hilal dianggap wujud berdasarkan pada kriteria dasar yang sangat
penting. Pada sistem ini, setidaknya terdapat dua aliran besar dalam
menentukan awal bulan kamariyah, yakni
aliran yang berpegang pada aliran ijtimak semata, dan aliran yang berpegang pada ijtima’ dan
posisi hilal di atas ufuk.[6] Ijtimak disebut
juga dengan iqtiran artinya “bersama” atau “kumpul” adalah suatu
peristiwa saat bulan dan matahari terletak pada posisi garis bujur yang sama,
bila dilihat dari arah timur dan barat. Dalam astronomi sering dikenal dengan
nama Conjunction (konjungsi) atau New Moon.[7] Adapun
aliran-aliran ijtimak adalah sebagai berikut:
a). Aliran Ijtimak
Semata
Aliran ini menetapkan bahwa awal bulan
kamariah dimulai ketika terjadi ijtimak (conjunction). Para pengikut aliran ini
mengemukakan adagium yang terkenal “ijtima’ al-Nayyiroin ithbatun bayna
al-Syahrayni”. Yakni bertemunya dua benda yang bersinar (matahari dan bulan)
yang merupakan pemisah diantara dua bulan.
Kriteria awal bula (Newmoon) yang ditetapkan oleh aliran ijtimak semata
ini sama sekali tidak memperhatikan rukyah artinya tidak mempermasalahkan hilal
dapat terlihat atau tidak. Dengan artian
tidak mempedulikan hilal dapat dilihat ataupun tidak, ini membuktikan aliran
ini semata-mata berpegangan pada astronomi murni. Karena dalam astronomi
pergantian bulan semata-mata disebabkan adanya ijtimak.[8]
Pada saat menetukan awal bulan
kamariah. Aliran ini biasanya memadukan
saat ijtimak tersebut dengan fenomena alam lain sehingga kriteria tersebut
berkembang dan akomodatif. Fenomena alam
yang dihubungkan dengan saat ijtimak itu tidak hanya satu sehingga aliran
ijtimak semata ini terbagi lagi menjadi aliran yang lebih kecil lagi[9]:
1) Ijtimak Qabla
al-Ghurub
Aliran ini memakai
konsep ijtimak sebelum matahari terbenam. Jika ijtimak/konjungsi itu telah
terjadi sebelum matahari terbenam, maka
pada malam hari tersebut sudah memasuki awal bulan baru (awal bulan
berikutnya), namun, jika ijtimak itu terjadi pada malam
hari, maka hari esok masih menjadi hari
terakhir bulan tersebut, atau dapat
dikatakan awal bulan terjadi pada lusa/hari berikutnya. Aliran ini tidak mempersoalkan rukyah dapat
terlihat ataupun tidak.
2) Ijtimak Qabla
al-Fajr
Aliran ini memiliki
metode yang sama dengan sebelumnya,
kondisi rukyah al-hilal dianggap tidak penting sepanjang persyaratan astronomisnya
terpenuhi. Hanya saja, jika sebelumnya ijtimak terjadi sebelum
matahari terbenam, konsep ini menetapkan
awal bulan kamariah (awal bulan baru) jika peristiwa ijtimak terjadi sebelum
terbit fajar. Jika ijtimak terjadi
setelah terbit fajar, maka hari tersebut masih hari terakhir pada bulan
tersebut dan awal bulan baru terjadi pada hari berikutnya, setelah fajar. Aliran ini juga berpendapat bahwa saat
ijtimak tidak ada sangkut pautnya dengan terbenam matahari.
3) Ijtimak dan Tengah
Malam
Aliran ini
berpedoman, jika ijtimak terjadi sebelum
tengah malam, maka mulai tengah malam
itu sudah masuk awal bulan baru/berikutnya.
Akan tetapi jika ijtimak terjadi setelah tengah malam, maka malam tersebut, masih termasuk hari terakhir pada bulan yang
sama, dan awal bulan ditetapkan pada
tengah malam berikutnya.
b). Ijtima’ dan posisi
hilal di atas ufuk
Kelompok ini menganggap bahwa awal bulan
kamariah dimulai sejak saat terbenam matahari setelah terjadi ijtimak
dan hilal pada saat itu sudah berada di atas ufuk dan 2 macam tersebut itulah
yang menjadi acuan penentu awal bulan kamariah.[10] Aliran ijtimak
dan posisi hilal di atas ufuk ini kemudian terbagi menjadi tiga bagian. Masing-masing memberikan interpretasi yang
berbeda di atas ufuk. Perbedaan ini
dilandasi 2 masalah, yakni:[11]
(1)
Ufuk/horizon yang dijadikan batas untuk mengukur apakah hilal sudah
berada di atas ufuk atau belum pada saat terbenam matahari.
(2) Penampakan hilal yang menjadi
ukuran (visibilitas hilal).
Dari 2 hal tersebut, maka lahirlah 4 aliran/kelompok, yakni:
(1)
Ijtimak dan Ufuk Hakiki
Awal bulan kamariyah dimualai
saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’ dan pada saat itu hilal sudah
berada diatas ufuk hakiki ( true horizon). Ufuk hakiki adalah lingkaran bola
langit yang bidangnya melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada garis
vertikal dari si peninjau, sedangkan posisi atau kedudukan hilal pada ufuk
adalah posisi atau kedudukan titik pusat bulan pada ufuk hakiki. Jelasnya
metode ini awal bulan komariyah dimulai pada saat terbenam matahari setelah
terjadi ijtimak dan pada saat itu titik pusat bulan berada di atas ufuk hakiki.
(1).
Ijtimak dan Ufuk Hissi
Madzhab ini menetapkan awal bulan bila hilal telah wujud di atas ufuk
hissi (bidang datar yang melewati mata si pengamat dan sejajar dengan ufuk
hakiki), pada saat matahari tenggelam
pada akhir bulan yang sedang berjalan.
Madzhab hilal di atas ufuk hissi ini menggunakan bidang datar yang
sejajar dengan ufuk hakiki yang berada pada permukaan bumi di mana pengamat
berada. Namun, madzhab ini tidak terlalu populer dan sedikit
yang menggunakannya. [12]
(3). Ijtimak dan Ufuk
Mar’i
Menetapkan awal bulan terjadi bila hilal telah wujud
pada saat matahari terbenam, namun,
dasar perhitungannya menggunakan ufuq mar’i/visible horizon. Selain itu, diperhitungkan pula beberapa koreksi seperti refraksi, parallax, dan lain sebagainya. [13]
4.
Anlisis Penulis
Secara
‘ilmiah metode hisab Annazir mempunyai metode yang hampir serupa dengan
keilmuan astronomi, yaitu pengetahuan
tentang fase-fase bulan dan melihat pasang surut air laut. Secara ilmiah fase-fase bulan ada delapan
yang selalu berkaitan dengan penentuan awal bulan kamariyah. Dan mengenai
pasang surut air laut, dalam ilmu
astronomi dijelaskan bahwa air laut akan mengalami pasang maksimal ketika bulan
penuh (purnama) dan bulan baru (new moon).
Hal ini persis dengan konsep jama’ah An-nazir yang menyatakan bahwa bulan baru bisa
dinyatakan dengan melihat pasang maksimal air laut. Dengan artian tidak
mempedulikan hilal dapat dilihat ataupun tidak, ini membuktikan aliran ini
semata-mata berpegangan pada astronomi murni. Karena dalam astronomi pergantian
bulan semata-mata disebabkan adanya ijtimak.
Menurut
pendapat penulis sebenarnya hal tersebut bisa membuat kita untuk mencoba
mengambil hal positif dari metode yang dimiliki oleh Annazir, dan sesuai dengan pendapat yang diajukan oleh
MUI bahwa kita tidak boleh terus menerus mengatakan Jama’ah Annazir sebagai
aliran sesat, mereka tidak sepenuhnya
menyimpang, mereka masih bisa kita ambil
hal positifnya. Dan sebaliknya sebagai
umat beragama yang mempunyai pedoman masing-masing, kita tidak boleh sembarangan menerima opini
orang tentang suatu hukum syari’ah.
Sebenarnya
pedoman hisab rukyah an-Nadir dalam menentukan awal bulan khususnya ketika
bulan Ramadlan adalah aliran ijtimak dalam artian penentuannya menggunakan
pemantauan terhadap ijtimaknya dua benda langit, matahari dan bulan, namun
obyek yang mereka jadikan acuan tidak melihat bulan melainkan melihat pasang
surutnya air laut. Di mana pasang surutnya air laut dapat menentukan kapan
terjadinya ijtimak.
BAB
III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Pasang
surut air laut adalah gejala fisik berupa naik turunnya permukaan laut yang
selalu berulang dengan periode tertentu.
pasang surut terjadi karena adanya gerakan dari benda-benda angkasa
yaitu rotasi bumi pada sumbunya, peredaran bulan mengelilingi bumi, dan
peredaran bulan mengelilingi matahari. Hal yang sangat mempengaruhi besar
kecilnya pasang surut air laut adalah bulan. Meskipun ukuran bulan lebih kecil
dari matahari, namun gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar dari pada
gaya tarik matahari dalam membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan
lebih dekat daripada jarak matahari ke bumi.
Gaya
pasang surut akan maksimum bila resultant gaya gravitasi antara bulan, bumi,
dan matahari terletak pada suatu satu garis lurus. Keadaan seperti ini akan
berlangsung saat bulan purnama dan bulan baru. Naiknya permukaan air laut pada tanggal
pertengahan suatu bulan disebut Pasang
Purnama. Dan ini adalah pasang air laut
yang tertinggi kedua dalam kurun waktu satu bulan. Sedangkan pasangnya air laut
yang tertinggi adalah pasang air laut yang terjadi ketika terjadinya ijtima’
atau bulan baru. Dan hal inilah yang dipedomani oleh Jama’ah An nazir dalam
menghitung awal bulan kamariyah.
Sebenarnya
pedoman hisab rukyah an-Nadir dalam menentukan awal bulan khususnya ketika
bulan Ramadlan adalah aliran ijtimak dalam artian penentuannya menggunakan
pemantauan terhadap ijtimaknya dua benda langit, matahari dan bulan, namun
obyek yang mereka jadikan acuan tidak melihat bulan melainkan melihat pasang
surutnya air laut. Di mana pasang surutnya air laut dapat menentukan kapan
terjadinya ijtimak. Dengan artian tidak mempedulikan hilal dapat dilihat
ataupun tidak, ini membuktikan aliran ini semata-mata berpegangan pada
astronomi murni. Karena dalam astronomi pergantian bulan semata-mata disebabkan
adanya ijtimak.
BAB IV
PENUTUP
Demikianlah makalah ini penulis buat, semoga dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya . Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, karena di dalamnya masih terdapat banyak kesalahan. Penulis hanya
dapat mengucapkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada para pembaca dan
Ibu Wenty Dwi Yuniarti, S pd. M. Kom selaku dosen pengampu mata kuliah Metodologi
Studi Sains. sekaligus mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca, demi
perbaikan makalah-makalah penulis yang selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
Azhari, Susiknan, Ilmu Falak (Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern), Yogyakarta: Suara Muhamadiyah, 2007.
Ardi, Hesti Yozevta, Dinamika Penentuan
Awal Bulan Qamariyah Menurut Jam;ah An-Nazir, Skripsi, Program Sarjana IAIN
Walisongo: Semarang.
Khazin,
Muhyiddin kamus ilmu Falak, Yogyakarta: Buana Pustaka 2005
Khazim, Muhyiddin, Ilmu
Falak dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta : Buana Pustaka,
Izzuddin, Ahmad, Fiqih Hisab Rukyah menyatukan NU dan Muhammadiyah
dalam Penentuan Awal Idul Fitri dan Idul Adha, Jakarta: Erlangga, 2007
Maktabah Syamilah, Sahih Bukhari, hadits no. 1776, jus 6 Hlm. 481
http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/22/hisab-rukyah-an-nadzir-dalam-penentuan-awal-bulan/
http://sbr.gafatar.org/proses-terjadinya-pasang-surut-air-laut/
[1] Ahmad Izzuddin, Fiqih
Hisab Rukyah menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam Penentuan Awal Idul Fitri dan
Idul Adha, Jakarta: Erlangga, 2007 Hlm.2
[3]
http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/22/hisab-rukyah-an-nadzir-dalam-penentuan-awal-bulan/
[4]
http://sbr.gafatar.org/proses-terjadinya-pasang-surut-air-laut/
[6] Susiknan Azhari, Ilmu Falak (Perjumpaan Khazanah Islam dan
Sains Modern), Yogyakarta:Suara
Muhamadiyah, 2007 hal.106
[8] Hesti Yozevta Ardi,
Dinamika Penentuan Awal Bulan Qamariyah Menurut Jam;ah An-Nazir, Skripsi,
Program Sarjana IAIN Walisongo: Semarang. Hlm
40
rukyah sekarang ini kok berbeda ya di indonesia, yang golongan ini hari ini, trus golongan lain hari lain, padahal posisinya kan sama, di indonesia juga, bingung dengan cara melihat masing2
BalasHapus