Kamis, 16 Mei 2013

IMAM SYAFI'I


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tarikh Tasyri’ merupakan salah satu kajian penting yang membahas sejarah legislasi pembentukan hukum syari’at Islam, asas tasyri’ dalam al Qur'an, penetapan dan sumber hukum pada Nabi, para sahabat dan fuqaha dalam generasi pertama. Tumbuhnya embrio golongan politik dan pengaruhnya atas perkembangan hukum Islam masa berikutnya. Sehingga munculah istilah-istilah fiqh dan tokoh-tokoh mujtahid, serta pembaruan pemikiran hukum pada masa pasca kejumudan dan reaktualisasi hukum Islam di dunia Islam.
Oleh karena itu, untuk membuka jalan menuju destinasi serta mengetahui urgensinya, maka perlu sebuah kajian dan pembahasan dalam memahami fiqih Islam dengan bentuk kajian ilmiah sesuai dengan metodologi penyelidikan tentang definisi syari’at, fiqih, periodisasi perkembangan hukum Islam, sumber-sumber hukum Islam serta madzhab-madzhab fiqih. Namun dalam makalah ini akan lebih difokuskan terhadap pembahasan perkembangan tarikh tasyri’ pada masa Imam Syafi’i.

B.     Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pembaca dalam memahami makalah ini, kami mencoba merumuskan bebarapa topik atau masalah seputar perkembangan tarikh tasyri’ pada masa Imam Syafi’i, yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah Biografi Imam Syafi’i Rahimahullahu?
2.      Bagaimanakah Sejarah Munculnya Madzhab Syafi’i?
3.      Kapan Saja Periode Fiqih Imam Syafi’i?
4.      Bagaimana Cara Ijtihad Imam Syafi’i?
5.      Apa Saja Pendapat Imam Syafi’i Mengenai Qaul Qadim dan Qaul Jadid?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Mengenal Lebih Dekat Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi’i Rahimahullahu

Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan sunnah dan akan menyingkirkan pendusta terhadap Nabi Muhammad SAW. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah mentakdirkan Imam Syafi’i.”

v  Silsilah dan Kelahiran Imam Syafi’i
Beliau bernama Muhammad bin Idris. Gelar beliau abu abdillah. Orang Arab dalam menuliskan nama biasanya mendahulukan gelar dari nama sehingga nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris.[1] Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada diri Abdu Manaf (suku Quraisy). Nasab beliau dari ayahandanya ialah bin Idris bin Abbas bin Ustman bin Syafi’i bin Saib bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdu Manaf. Sedangkan dari ibunya ialah binti Fathimah binti Abdullah bin al Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib.[2] Dari silsilah tersebut, jelaslah bahwa Imam Syafi’i masih keturunan dari Nabi Muhammad SAW.
Beliau dilahirkan di Gaza pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun 204 H. Ibunya keturunan Yaman dari kabilah Azdi dan memiliki jasa yang besar dalam mendidik beliau. Sedangkan ayahnya meninggal dunia ketika beliau masih dalam buaian. Kemudian ibunya membawa beliau ke Makkah agar dapat hidup bersama orang-orang Quraisy, bertemu dengan nasabnya yang tinggi.[3]
Sejarah telah mencatat bahwa ada dua kejadian penting sekitar kelahiran Imam Syafi’i, yaitu:[4]
Ø  Sewaktu Imam Syafi’i dalam kandungan, ibunya bermimpi bahwa sebuah bintang telah keluar dari perutnys dan terus naik membumbung tinggi, kemudian bintang itu pecah dan berserakan menerangi daerah-daerah sekelilingnya. Ahli mimpi menta’birkan bahwa ia akan melahirkan seorang putera yang ilmunya akan meliputi seluruh jagad.
Ø  Pada hari Imam Syafi’i lahir, ada dua orang ulama’ besar yang meninggal dunia, seorang di Baghdad yaitu Imam Abu Hanifah dan di Mekkah yaitu Imam Ibnu Juraij al Makky. Dengan peristiwa tersebut, orang-orang yang ahli dalam ilmu firasat meramalkan bahwa ini suatu pertanda bahwa anak yang lahir ini akan menggantikan yang meninggal dalam kemahiran dalam urusan pengetahuan.

v  Perjalanan Imam Syafi’i Dalam Menuntut Ilmu
Pusat ilmu pengetahuan pada masa itu adalah di Makkah, Madinah, Irak (Kuffah), Syam dan Mesir. Selama beliau di Makkah, beliau berkecimpung dalam menuntut ilmu pengetahuan khususnya yang bertalian dengan agama Islam sesuai dengan kebiasaan anak-anak kaum Muslimin ketika itu. Imam Syafi’i belajar membaca al Qur’an kepada Ismail bin Qusthanthein dan dalam usia 9 tahun beliau telah dapat menghafal al Qu’an 30 juz.[5]
Imam Syafi’i juga tertarik dengan syair-syair bahasa Arab klasik, sehingga sewaktu-waktu beliau datang ke kabilah-kabilah Badui di Padang Pasir, kabilah Hudzail, dan lain-lain. Terkadang beliau tinggal lama di kabilah tersebut untuk mempelajari sastra Arab, sehingga akhirnya Imam Syafi’i mahir dalam kesusastraan Arab kuno dan beliau juga hafal syair dari Imrun al Qais, syair Zuheir dan Syair Djarir.[6]
Beliau di kota Makkah belajar ilmu fiqih kepada Imam Muslim bin Khalid az Zanniy, seorang guru besar dan mufti di makkah pada masa itu. Dan dalam usia 10 tahun beliau mampu menghafal kitab fiqih karangan Imam Maliki yaitu kitab al Muwatha’. Karena kepandaiannya, dalam usia 15 tahun beliau diberi izin oleh gurunya tersebut untuk mengajar di Masjidil Haram tentang hukum-hukum yang bersangkutan dengan agama.[7] Beliau juga belajar ilmu hadits kepada Imam Sufyan bin Uyainah.
Setelah beliau menghafal kitab al Muwatha’, beliau pergi ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik. Sambil belajar dengan Imam Malik, beliau juga menyempatkan diri untuk pergi ke perkampungan untuk bertemu dengan penduduk dan juga pergi ke Makkah untuk bertemu dengan ibunya untuk meminta nasihat.[8] Dengan belajar ilmu pengetahuan kepada Imam Malik, beliau mendapat banyak kenalan dari ulama’-ulama’ yang datang ke Madinah untuk belajar kepada Imam Malik.
Setalah 2 tahun di Madinah, Imam Syafi’i berangkat ke Irak (Kuffah dan Baghdad), dimana beliau bermaksud untuk menemui ulama-’ulama’ ahli fiqih dan ahli hadits yang berada di Irak.[9]
Sampai di Kuffah beliau menemui ulama’-ulama’ sahabat almarhum Imam Abu Hanifah, yaitu guru besar Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan dimana Imam Syafi’i sering bertukar fikiran dan diberi pengetahuan tentang agama oleh beliau berdua. Dalam kesempatan ini, Imam Syafi’i dapat mengetahui cara-cara atau aliran fiqih dalam madzhab Hanafi yang agak jauh bedanya dengan cara-cara atau aliran fiqih dalam madzhab Maliki.[10] Imam Syafi’i ketika itu dapat mendalami dan menganalisa cara-cara yang dipakai oleh kedua Imam itu.
Beliau tidak lama di Irak ketika itu dan terus mengembara ke Persi, Anadholi (Turki), dan ke Ramlah (Palestina) dimana diperjalanan beliau banyak menjumpai ulama’ baik Tabi’in maupun Tabi’-tabi’in. Pada kesempatan ini beliau mengetahui adat bangsa-bangsa selain bangsa Arab, hal ini nantinya membantu beliau dalam membangun fatwanya dalam madzhab Syafi’i.[11]
Sesudah 2 tahun mengembara, Imam Syafi’i kembali ke Madinah dan kembali kepada guru besarnya yaitu Imam Maliki. Imam Maliki bertambah kagum dengan ilmu Imam Syafi’i dan bahkan sudah ada pertanda dari Imam Maliki bahwa ilmu Imam Syafi’i sudah melebihi ilmunya. Imam Maliki memberi izin kepada Imam Syafi’i untuk memberi fatwa sendiri dalam ilmu fiqh, artinya tidak berfatwa atas dasar aliran Imam Maliki dan juga tidak atas dasar aliran Imam Hanafi, tetapi berfatwa atas dasar madzhab sendiri.[12]

v Guru Imam Syafi’i
Imam Syafi’i dari sejak kecil memang mempunyai sifat “pecinta ilmu”. Maka sebab itu bagaimana pun keadaannya, beliau tidak segan menuntut ilmu pengetahuan kepada orang-orang yang dipandangnya mempunyai keahlian tentang ilmu yang sedang dituntutnya.
Di antara guru-guru beliau yang terkenal ketika beliau di Makkah, yaitu Imam Muslim bin Khalid, Imam Ibrahim bin Sa’id, dan Imam Sufyan bin Uyainah; dan ketika di Madinah, yaitu Imam Malik bin Anas. Beliau tidak hanya berguru kepada para ulama’ di kota Makkah dan Madinah, tetapi juga berguru kepada ulama di negeri lainnya.[13]
Demikian banyaknya guru dari Imam Syafi’i yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu, bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih lanjut nama-nama ulama’ yang pernah menjadi guru beliau, cukuplah membaca kitab “Musnad Imam Asy Syafi’i”.

v Kitab-Kitab Karangan Imam Syafi’i
Imam Syafi’i selain seorang yang ahli dalam ilmu pengetahuan, beliau adalah seorang pengarang kitab-kitab yang sangat berguna bagi dunia Islam. Adapun kitab-kitab karangan beliau yang paling masyhur menurut riwayat yang hingga kini masih tercatat adalah sebagai berikut:[14]
·         Kitab Ar Risalah
Kitab ini khusus berisi ilmu Ushul Fiqh. Dalam kitab ini, Imam Syafi’i mengarang dengan jelas tentang cara-cara beristimbath, mengambil hukum-hukum dari al Qur’an dan Sunnah dan cara-cara orang beristidlal dari Ijma’ dan Qiyas. Kitab ini diriwayatkan oleh Imam ar Rabi’ bin Sulaiman al Murady.


·         Kitab Al Umm
Kitab ini merupakan karya terbesar Imam Syafi’i. Isi kitab ini menunjukkan kealiman dan kepandaian beliau tentang ilmu fiqh, karena susunan kalimatnya yang tinggi dan indah, ibaratnya halus serta tahan uji kalau dipergunakan untuk bertukar fikiran bagi para ahli fikir yang ahli fiqh. Tepatlah kalau kitab ini dinamakan al Umm yaitu “ibu” bagi anak-anak yang sebenarnya.

v Wafatnya Imam Syafi’i
Imam Syafi’i wafat pada tahun 204 H dalam usia 54 tahun. Rabi’in bin Sulaiman (murid Imam Syafi’i) berkata, “Imam Syafi’i Rahimahullahu berpulang kerahmatullah sesudah menunaikan ibadah shalat maghrib, petang Kamis malam Jumat, akhir bulan Rajab dan kami makamkan beliau pada hari Jumat. Sorenya kami lihat hilal bulan Sya’ban 204”.[15]

B.     Sejarah Munculnya Madzhab Syafi’i
Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy Syafi’i setelah ilmunya tinggi dan fahamnya begitu dalam dan tajam serta mendapatkan izin dari gurunya yaitu Imam Maliki untuk memberi fatwa dalam fiqih sesuai dengan dasar madzhabnya sendiri, beliau mulai berijtihad dalam menentukan hukum Islam terlepas dari fatwa-fatwa gurunya baik Imam Maliki maupun Imam Hambali.[16]
Perlu diketahui bahwa Imam Syafi’i sebelum melawat ke Irak adalah termasuk salah seorang ulama’ pengikut madzhab Maliki karena beliau banyak mendapatkan ilmu pengetahuan dari Imam Maliki. Beliau mengajarkan kitab al Muwatha’ karangan Imam Maliki kepada para ulama’ yang datang berkunjung dari luar Madinah. Dan setelah beliau melawat ke Irak, beliau mengajarkan kitab al Ausath karangan Imam Hanafi serta mempelajari aliran madzhabnya.[17]
Setelah beliau melawat ke Irak, beliau menemui beberapa peristiwa yang baru. Kemudian beliau menyesuaikan pendapat-pendapatnya mengenai hukum dengan beberapa peristiwa baru tersebut. Setelah sekitar 2 tahun di Irak, beliau melawat ke Mesir dan menetap disana, lalu timbul pula daripadanya beberapa perubahan dari pendapat-pendapatnya yang lama ketika di Irak. Kemudiian beliau menyesuaikan pendapatnya dengan beberapa peristiwa yang baru yang ada di Mesir.[18]
Pada umumnya ketika Imam Syafi’i datang ke Mesir, para penduduk di kala itu merupakan pengikut madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. Kemudian setelah beliau mengajarkan pendapatnya yang baru di masjid Amr bin Ash, maka mulai berkembanglah aliran madzhab beliau di Mesir.[19]
Jadi pada mulanya berkembangnya madzhab Syafi’i ialah di Mesir. Kemudian berkembang pula di Irak dan mendapat kemajuan di Baghdad.
C. Periode Fiqih Imam Syafi’i[20]
1)      periode Pertama
Makkah adalah periode pertama Imam Syafi’i berkiprah dalam bidang fiqih. Setelah meninggalkan kota baghdad, dia tinggal di Makkah selama sembilan tahun. Di kota Makkah ini dia telah mencurahkan waktunya untuk terjun di dunia ilmu pengetahuan. Di sana ia benar-benar telah mendapatkan kematangan ilmunya dan mampu menghimpun berbagai hadits yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan. Karena itu, Imam Syafi’i sering menemukan pertentangan antara hadits yang satu dengan yang lainnya dan dalam tataran praktis dia harus mengunggulkan satu pendapat di antara pendapat-pendapat lainnya. Pengunggulan pendapat tersebut bisa dilihat dari segi sanad hadits yang dijadikan sandarannya atau dari segi ketidakberlakuan sebuah dalil (nasikh mansukh).
Di Makkah Imam Syafi’i juga mendalami dalil-dalil al-Qur’an dan menghimpun  berbagai hadits . upaya tersebut membuatnya tahu sejauh mana kedudukan hadits di sisi al-Qur’an . kitab ar-Risalah adalah buah karya Imam Syafi’i selama periode makkah yang sengaja ia susun atas permintaan Abdurrahman al-Mahdi.
2)      Periode Kedua
Imam Syafi’i datang ke kota Baghdad pada tahun 195 H. Dia tinggal di sana selama kurang lebih tiga tahun. Pada masa ini Imam Syafi’i mulai mengeksplorasi berbagai pendapat ahli fiqih yang semasa dengannya, pendapat dari para sahabat dan tabi’in. Di masa ini pula Imam Syafi’i mulai mengekspresikan pendapat-pendapatnya dengan berpijak pada ushulnya. Kemudian Imam Syafi’i memilih pendapat yang lebih mendekati ushulnya.
3)      Periode Ketiga
Imam Syafi’i menghabiskan periode ketiga ini setelah dia pindah ke Mesir pada tahun 199 H. Di sana dia menetap selama empat tahun, hingga wafat. Di sanalah Imam Syafi’i mengalami kematangan-kematangannya.
Mengenai sumber fiqihnya, Imam Syafi;i memiliki lima sumber yang kesemuanya dituturkan dalam kitabnya al-Umm. Dia berkata “ Ilmu memiliki bebeerapa ingkatan : pertama, al-qur’an dan as-sunnah yang dianggap valid. Kedua, ijmak dan ini berlaku apabila yang sedang digali tidak ditemukan, baik di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Ketiga,  pendapat salah satu sahabat lain yang menentangnya. Keempat,  sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi Saw. Kelima, Qiyas. Ketahuilah tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan referensi, selama ada al-qur’an dan hadits.
D. Cara-Cara Ijtihad Imam Syafi’i
Seperti Imam Madzhab lainnya, Imam Syafi’i menentukan thuruq al-istinbath al-ahkam tersendiri. Adapun langkah-langkah ijtihadnya adalah sebagai berikut :[21]
1)      Dhahir-dhahir Al-Qur’an selama belum ada dalil yang menegaskan, bahwa yang dimaksud bukan dhahirnya.
2)      Sunnatur Rasul
As-Syafi’i mempertahankan hadits ahad selama perawinya kepercayaan, kokoh ingatan dan bersambung sanadnya kepada Rasul. Beliau tidak mensyaratkan selain daripada itu. Lantaran itulah beliau dipandang Pembela Hadits. Beliau menyamakan Sunnah yang shahih dengan Al-Qur’an.
3)      Ijma’ menurut pahamnya ialah : ” tidak diketahui ada perselisihan pada hukum yang dimaksudkan”. Beliau berpendapat, bahwa meyakini telah terjadi persesuaian paham segala ulama tidak mungkin.
4)      Qiyas, beliau menolak dasar istihsan dan dasar istishlah.
Metodologi ijtihad Imam Syafi’i tidak ada yang menggunakan logika kecuali terbatas pada Qiyas saja.
5)      Istdlal.
As-Syafi’i dapat memahamkan dengan baik fiqh ulam Hijaz dan fiqh ulama Iraq dan beliau terkenal dalam medan munadharah sebagai seorang yang sukar dipatahkan hujjahnya.
E.  Qaul Qadim dan Qaul Jadid[22]
Ahmad Amin (II, t.th:231) menjelaskan bahwa ulama membagi pendapat as-syafi’i menjadi dua: qaul qadim dan qaul jadid. Qaul qadim adalah pendapat as-syafi’i yang dikemukakan dan di tulis di Irak. Sedangkan qaul jadid adalah pendapat imam as-syafi’i yang dikemukakan dan di tulis di Mesir.
Muhammad Sya’ban Ismail mengatakan bahwa pada tahun 195 H, Imam Syafi’i tinggal di irak pada zaman pemerintahan al-Amin. Di Irak, ia belajar kepada ulama Irak dan banyak mengambil pendapat Ulama Irak yang termasuk ahlu ra’yi. Di antara ulama irak yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i dan berhasil dipengaruhinya adalah Ahmad Ibn Hanbal, al-Karabisi, al-Za’farani, dan Abu Tsaur.
Setelah tinggal di Irak, as-Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir kemudian tinggal di sana . di Mesir, ia bertemu dengan (dan berguru kepada ) ulama Mesir yang pada umumnya sahabat Imam Malik. Imam Malik adalah penurus fikih ulama Madinah yang dikenal  sebagai ahli hadits . karena perjalanan intelektualnya itu, imam as-Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian disebut qaul jadid. Dengan demikian, qaul qadim adalah pendapat imam as-syafi’i yang bercorak ra’yu. Sedangkan qaul jadid adalah pendapatnya yang bercorak hadits.
Sebab terbentuknya qaul qadim dan qaul jadid adalah karena imam Syafi’i mendengar (dan menemukan) hadits dan fiqih yang diriwayatkan ulama mesir yang tergolong ahlu hadits.ada yang mengatakan bahwa pendapat imam Syafi’i yang didektekan dan ditulis di Irak disebut qaul qadim.
Para ahli berkesimpulan bahwa munculnya qaul jadid merupakan dampak dari perkembangan baru yang dialami oleh imam Syafi’i dari penemuan hadits, pandangan, dan kondisi sosial baru yang tidak ia temui selama ia tinggal di Irak dan di Hijaz . dan diantara pendapat qaul jadid ini dimuat di Kitab Al-Umm.
Contohnya, dalam masalah tertib wudhu. Qaul qadim  mengatakan orang yang wudhunya tidak tertib karena lupa adalah sah. Sedangkan qaul jadid  mengatakan bahwa orang yang wudhunya tidak tertib, meskipun karena lupa  adalah tidak sah. Contoh lain dalam masalah tayamum. Qaul qadim mengatakan bahwa seseorang dibolehkan tayamum dengan pasir. Sedangkan qaul jadid mengatakan  bahwa seseorang  tidak dibolehkan tayamum dengan pasir.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Siradjuddin, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1972).

Al-Fayyumi, Ibrahim, Muhammad, Imam Syafi’i Pelopor fikih dan Sastra, (Jakarta: Erlangga), 2009.

Khalil, Rasyad Hasan, Tarikh Tasyri’ (Sejarah Legislasi Hukum Islam), (  Jakarta: AMZAH, 2009).

Khalil, Munawar, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1955).

Mubarok, Jaih, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,( Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2000).

Ash Shiddiqiey, Muhammad Hasbi Teungku, Pengantar Hukum Islam, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997).



[1] K. H. Siradjuddin Abbas, Sejarah dan Keagungan Madzhab Syafi’i, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1972), hlm. 14.
[2] K. H. Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1955), hlm. 150.
[3] Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’ (Sejarah Legislasi Hukum Islam), (Jakarta: AMZAH, 2009), hlm. 185.
[4] K. H. Siradjuddin Abbas, loc. Cit.
[5] Ibid., hlm. 16.
[6] Ibid.
[7] K. H. Munawar Khalil, op. Cit., hlm. 153.
[8] Dr. Rasyad Hasan Khalil, op. Cit., hlm. 186.
[9] K. H. Siradjuddin Abbas, op. Cit., hlm. 23.
[10] Ibid., hlm. 24.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Dr. Rasyad Hasan Khalil, op. Cit., hlm. 188.
[14] K. H. Munawar Khalil, op. Cit., hlm. 242.
[15] K. H. Siradjuddin Abbas, op. Cit., hlm. 33.
[16] K. H. Siradjuddin Abbas, op. Cit., hlm. 30.
[17] K. H. Munawar Khalil, op. Cit., hlm. 246.
[18] Ibid.
[19] Ibid., hlm. 247.
[20] Dr. Muhammad Ibrahim al-Fayyumi, Imam Syafi’i Pelopor fikih dan Sastra, (Jakarta: Erlangga), 2009, hlm. 92-94.
[21] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqiey, Pengantar Hukum Islam, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm. 88.
[22] DR. Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,( Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 106-107.

Rabu, 15 Mei 2013

Animisme dan Dinamisme


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk hidup manusia yang terikat oleh suatu sistem adat istiadat. Masyarakat Jawa, atau tepatnya suku bangsa Jawa, secara antropologi budaya adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya secara turun-temurun.[1] Masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun agama.
Sebelum datangnya Islam ke pulau Jawa, masyarakat Jawa dikenal sebagai penganut animisme dan dinamisme. Ajaran animisme dan dinamisme, atau yang sering disebut orang Barat sebagai religion magis ini sudah ada sebelum datangnya Hinduisme dan Budhisme. Hal ini merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Masyarakat Jawa sangat kental dengan masalah tradisi dan budaya. Masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman yang cukup terhadap agama yang dianutnya, lebih banyak menjaga warisan leluhurnya dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut. Sebagai masyarakat yang masih sederhana, wajar bila animisme dan dinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya.
Makalah ini mengkaji tentang kepercayaan animisme dan dinamisme yang ada pada masyarakat serta bagaimana sikap masyarakat terhadap orang yang sudah meninggal serta bentuk-bentuk kultus sesembahan yang dihasilkan dari adanya sikap tersebut.

B.     Rumusan Masalah
Untuk mempermudah pembaca dalam memahami karya tulis ini, penulis mencoba merumuskan beberapa masalah yang berkaitan dengan tema tersebut, yaitu:
1.      Apakah Pengertian Animisme Dan Dinamisme?
2.      Bagaimanakah Sikap Masyarakat Terhadap Orang Yang Sudah Meninggal?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sekilas Tentang Animisme Dan Dinamisme
v  Animisme
Pandangan hidup masyarakat Jawa memang berakar jauh ke masa lalu. Masyarakat Jawa sudah mengenal Tuhan sebelum datangnya agama-agama yang berkembang seperti sekarang ini. Suku bangsa Jawa sejak zaman prasejarah telah memiliki kepercayaan animisme yaitu kepercayaan kepada makhluk halus atau roh.
Animisme berasal dari kata anima, anime; dari bahasa Latin Animus, dan bahasa Yunani Avepos, dalam bahasa Sanskerta disebut Prana, dalam bahasa Ibrani disebut Ruah, yang artinya napas atau jiwa.[2]
Dalam Kamus Ilmiah Populer juga dijelaskan bahwa animisme adalah suatu paham bahwa alam ini atau semua benda memiliki roh atau jiwa.[3]
Kuncoroningrat dalam bukunya yang berjudul Sejarah Kebudayaan Indonesia juga menjelaskan bahwa animisme adalah kepercayaan yang menganggap bahwa  semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan ghaib atau memiliki roh yang berwatak baik maupun buruk.[4]
Dapat disimpulkan bahwa animisme adalah suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan dan juga pada manusia sendiri atau dengan kata lain animisme itu mempercayai bahwa setiap benda yang ada di bumi ini (seperti laut, gunung, hutan, gua, atau tempat-tempat tertentu), memiliki jiwa yang harus dihormati agar jiwa tersebut tidak mengganggu manusia tetapi malah membantu mereka.
Secara  singkat, animisme dapat diartikan kepercayaan masyarakat terhadap roh leluhur. Dalam keyakinan masyarakat ini, mereka meyakini bahwa orang yang telah meninggal dianggap sebagai yang maha tinggi, menentukan nasib dan mengontrol perbuatan manusia. Roh orang yang meninggal dianggap dan dipercayai mereka sebagai makhluk kuat yang menentukan segala kehendak dan kemauan yang harus dilayani.[5]
Dengan kepercayaan tersebut mereka beranggapan bahwa disamping semua roh yang ada, terdapat roh yang paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Dan, agar terhindar dari roh tersebut mereka menyembahnya dengan jalan mengadakan upacara disertai sesaji. Upacara tersebut dilakukan oleh masyaratakat Jawa agar keluarga mereka terlindung dari roh jahat.[6] Itu semua mereka lakukan karena mereka percaya bahwa roh-roh leluhur mampu memberikan sabda ramalan kepada anak keturunan mereka yang selalu meminta saran pada saat dalam keadaan kesulitan.[7]
Dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid II, Priyohutomo menambahkan bahwa masyarakat Jawa melakukan upacara itu untuk meminta berkah pada roh, dan meminta pada roh jahat agar tidak mengganggunya. Mereka membuat beberapa monumen yang terbuat dari batu sebagai tempat pemujaan untuk nenek moyang, serta menolak perbuatan hantu jahat.[8]
Cara yang ditempuh untuk menghadirkan roh nenek moyang adalah dengan mengundang orang yang ahli dalam bidang tersebut, yang disebut perewangan, untuk memimpin acara. Mereka juga membuat patung nenek moyang agar roh nenek moyang masuk dalam patung tersebut dengan bantuan dan upaya perewangan tersebut. Sebagai kelengkapan upacara, mereka menyiapkan sesaji dan membakar kemenyan atau bau-bau lain yang digemari nenek moyang. Mereka menyempurnakan upacara tersebut dengan bunyi-bunyian dan tari-tarian agar roh nenek moyang yang dipanggil menjadi gembira dan berkenan memberikan berkah kepada keluarganya.[9]
Selain dengan bantuan perewangan, cara untuk menghubungi roh orang yang sudah meninggal juga dilakukan dengan cara tidur di atas kuburan-kuburan sambil mengharapkan mendapatkan keberuntungan seperti yang dilakukan oleh masyarakat Dayak di Kalimantan.[10]
Banyak kepercayaan animisme yang berkembang di masyarakat, seperti kepercayaan masyarakat Nias yang meyakini bahwa tikus yang keluar masuk rumah adalah jelmaan dari wanita yang meninggal dalam keadaan melahirkan.[11] Dalam hubungannya dengan roh nenek moyang atau roh leluhur, dapat didapati di beberapa suku. Seperti suku Toraja, mereka mempercayai bahwa roh nenek moyang adalah penjaga serta pelindung adat; doa restu mereka sangat diharapkan karena tanpa restu mereka maka hidup akan ditimpa musibah serta bencana lain yang menimpa masyarakat. Pada suku Ngaju di Kalimantan, roh nenek moyang dianggap yang menjaga kelestarian kampung, sungai, sawah dan lain-lainnya sehingga masih berfungsi sebagaimana mestinya.[12]
Para roh ini dianggap masih tetap tinggal di sekitar kediaman mereka dahulu. Karena itu mereka perlu makanan dan minuman yang harus disediakan oleh anak cucunya atau sanak keluarganya.
Selain percaya kepada roh-roh yang dianggap keramat, masyarakat Jawa juga percaya akan adanya dewa-dewa. Hal ini terlihat jelas pada keyakinan mereka akan adanya penguasa Laut Selatan yang mereka namakan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan).[13] Masyarakat Jawa yang tinggal di daerah pantai selatan sangat mempercayai bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa Laut Selatan yang mempunyai hubungan kerabat dengan Mataram (Yogyakarta). Mereka memberi bentuk sedekah laut agar mereka terhindar dari mara bahaya.
Itulah gambaran masyarakat Jawa dengan keunikan mereka dalam beragama dan berbudaya. Hingga sekarang keunikan ini justru menjadi warisan yang dijunjung tinggi dan tetap terpelihara dalam kehidupan mereka. Bahkan dengan adanya otonomi daerah, masing-masing daerah mencoba menggali tradisi-tradisi semisal untuk dijadikan tempat tujuan wisata yang dapat menambah income bagi daerah yang mengelolanya.




v  Dinamisme
Masyarakat Jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penentuan dari kehidupan seluruhnya.[14] Sebagai contoh, keberhasilan pertanian tergantung dari kekuatan alam, matahari, hujan, angin dan hama, tetapi mereka masih mempercayai kekuatan adikodrati di balik semua kekuatan alam tersebut. Salah satu bentuk kekuatan yang terdapat dalam dan di balik gejala-gejala alam tersebut adalah kekuatan dinamisme.[15]
Perkataan dinamisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu dunamos atau dalam bahasa Inggris disebut dynamic yang artinya kekuatan, kekuasaan dan daya.[16]
Dalam Ensiklopedi Umum dijumpai definisi dari dinamisme sebagai kepercayaan keagamaan primitif pada zaman sebelum kedatangan agama Hindu ke Indonesia.[17] Dinamisme disebut juga dengan istilah preanimisme[18] yang mengajarkan, bahwa tiap-tiap benda atau makhluk mempunyai mana.[19]
Begitu juga di dalam Kamus Ilmiah Populer dijumpai bahwa arti dari dinamisme adalah kepercayaan primitif dimana semua benda mempunyai kekuatan yang bersifat ghaib.[20]
Dapat disimpulkan bahwa dinamisme adalah kepercayaan terhadap benda-benda di sekitar manusia yang diyakini mempunyai kekuatan ghaib. Maksud dari kekuatan tersebut adalah kekuatan yang berada dalam suatu benda (bisa berasal dari api, air, batu-batuan, benda ciptaan, pepohonan, hewan atau bahkan manusia sendiri) dan diyakini mampu memberikan manfaat atau memberikan bahaya.
Masyarakat Jawa percaya bahwa roh itu tidak hanya menempati makhluk hidup tetapi juga menempati benda-benda mati atau benda yang dianggap keramat. Biasanya benda-benda yang mereka keramatkan adalah benda-benda pusaka peninggalan dan juga makam-makam dari para leluhur atau tokoh yang mereka hormati.
Pada umumnya benda-benda yang mengandung mana ini bermanfaat bagi pemiliknya sebagai penangkal penyakit atau bahaya. Benda ini bisa berwujud pusaka seperti keris, cincin akik, tombak dan sebagainya. Di samping penolak dan penangkal, benda-benda pusaka yang mengandung mana itu juga dianggap dapat mendatangkan kehormatan dan kemuliaan kepada pemiliknya.[21]
Cara untuk menghormati fetish[22] biasanya dilakukan oleh masyarakat dengan merawat dengan baik benda tersebut, diolesi dan disirami pada waktu tertentu, disuguhi hidangan makanan atau kembang serta diasapi dengan kemenyan. Semua ini dilakukan dengan maksud agar kekuatan yang terkandung dalam benda itu bertambah, terpelihara atau terbaharui.[23]
Selain itu, cara untuk menghormati benda-benda pusaka tersebut adalah dengan cara kirab pusaka seperti yang dilakukan di Keraton Yogyakarta maupun Keraton Surakarta, yang mana sebelum dilakukan kirab, pusaka-pusaka tersebut juga dimandikan dengan air khusus dan ritual lainnya yang mengikuti dalam prosesi kirab pusaka.

B.     Macam-Macam Sikap Terhadap Orang Yang Sudah Meninggal
Pemujaan dan penghormatan terhadap para leluhur adalah manisfestasi dari macam-macam sikap terhadap orang yang telah meninggal di kalangan suku bangsa primitif. Mereka percaya bahwa roh orang yang sudah meninggal tidak hanya menempati makhluk hidup tetapi juga menempati benda-benda mati, sehingga roh itu bisa terdapat dalam bebatuan, pohon-pohon, benda pusaka, dan lainnya. Karena adanya kepercayaan pada roh, timbullah pemujaan terhadap benda atau tempat yang dipercaya dihuni oleh roh leluhur.
Dengan harapan agar roh yang dipuja membalas dengan kebaikan atau tidak mengganggu mereka yang mengadakan sesembahan, adakalanya mereka memuja roh tersebut dengan upacara yang menggunakan hewan-hewan yang dianggap mengandung mana.
Menurut kepercayaan tradisional Jawa, kerbau dhungkul jantan, kambing kendhit jantan, adalah hewan-hewan utama yang mempunyai mana. Hewan tersebut biasa digunakan untuk upacara labuhan ke Gunung Merapi, ataupun ke Gunung Merbabu, ataupun ke Laut Kidul. Mereka percaya bahwa ini semua mengandung hikmah dan kekuatan ghaib untuk menghilangkan penyakit dan mencegah bencana alam.[24]
Pada masyarakat primitif seperti masyarakat Jawa pada zaman dulu, dapat dijumpai beberapa macam sikap terhadap orang yang sudah meninggal, yaitu:[25]
§  Orang mati diyakini sangat membahayakan karena mati dapat menular. Sehingga, apabila manusia yang masih hidup ini tidak memperdulikan, tidak memperhatikan dan tidak merawat serta tidak melayaninya dengan baik-baik orang yang sudah meninggal, maka roh-rohnya akan membawa manusia yang masih hidup kepada penderitaan sakit yang dapat menyebabkan kematian. Terlebih lagi bilamana mereka meninggal disebabkan karena kekerasan, kekejaman atau perbuatan yang menyakitkan hati.
§  Orang mati terutama mereka yang menjadi tokoh atau para pemuka dalam masyarakat dipercaya bahwa setelah mereka meninggal, roh mereka semakin berkuasa dan menentukan kehidupan serta nasib manusia yang masih hidup. Roh-roh ini dipercaya mampu menolong dan juga mampu menyakiti.
§  Orang yang sudah meninggal tidak dapat mencukupi kebutuhannya sendiri. Karena itu harus dicukupi oleh orang yang masih hidup yaitu dengan cara upacara yang disertai sesaji.
§  Orang yang sudah meninggal diyakini rohnya dapat kembali ke dunia, kembali hidup dalam masyarakat manusia dan rohnya tadi dapat dilahirkan kembali dalam jasad-jasad yang dikendaki dan dipilih olehnya.
Karena kepercayaan yang diwujudkan dengan sikap seperti itu, masyarakat primitif  selalu melaksanakan kegiatan ini dengan sebaik-baiknya dengan harapan para roh tersebut dapat memeberikan perlindungan terhadap masyarakat tersebut.
Dari bermacam-macam sikap terhadap orang yang sudah meninggal, maka kita dapatkan adanya beberapa macam bentuk kultus[26] sesembahan atau pemujaan, antara lain:[27]
Ø  Tingkatan Pemujaan Menurut Kelas-Kelas
Tidak semua leluhur mempunyai tingkatan yang sama sebab di antara mereka ada yang paling berkuasa. Dan yang sering terjadi adalah anggota kelompok atau anggota suku dalam tingkatan biasa hanya dipuja untuk sementara waktu saja. Bentuk sesembahan yang sangat merata di antara suku-suku primitif adalah terhadap roh para pribadi yang agung yang merupakan pusat kultus sesembahan terhadap leluhur. Senioritas dalam masyarakat dan para pendiri keluarga menempati kultus sesembahan dalam lingkungan terbatas pada generasi jalur keturunan.

Ø  Kultus Sesembahan Merupakan Tumpuan Harapan
Roh-roh para leluhur dapat dipanggil untuk membantu menghilangkan kesulitan masyarakat, terutama untuk menjamin kelestarian garis jalur keturunan karena biasanya ada keyakinan bahwa roh para leluhur mendambakan kelestarian garis yang memujanya.  Selain itu roh para leluhur juga diharapkan dapat menghindarkan bahaya serta dapat mendatangkan kebaikan, karena para roh tersebut dipercaya sangat menentukan nasib mereka.

Ø  Bentuk Kultus Sesembahan Bersifat Komunal
Pemujaan terhadap arwah leluhur seringkali melibatkan kepercayaan bahwa semua anggota suku adalah keturunan dari seseorang tokoh tertentu yang yang dipuja. Karena itu di sini tampak adanya pemujaan yang terikat dengan pertalian kekerabatan. Kesimpulannya orang yang meninggal disembah oleh suatu kelompok seperti keluarga dan klan karena roh ini merupakan anggota keluarga pada waktu hidupnya dulu.

Bentuk-bentuk kultus sesembahan seperti itu selain masih banyak di kalangan suku-suku primitif juga terdapat di sekitar kita saat ini yang banyak kita jumpai.





DAFTAR PUSTAKA

Al Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkeola, 2001).

Daradjat, Zakiah, dkk, Perbandingan Agama, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996).

Jamil, Abdul, dkk, Islam & Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000).

Kuncoroningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Yogyakarta: Jambatan, 1954).

Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1973).

Priyohutomo, Sejarah Kebudayaan Indonesia  Jilid II, (Jakarta: J.B. Walters, 1953).





[1] H. Abdul Jamil, dkk, Islam & Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 3.
[2] Dr. Zakiah Daradjat, dkk, Perbandingan Agama, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 24.
[3] M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkeola, 2001), hlm. 32.
[4] Kuncoroningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Yogyakarta: Jambatan, 1954), hlm. 103.
[5] Diakses dari http://mufarida.blogspot.com/p/animisme-dan-dinamisme-dalam-kebudayaan.html, pada tanggal 25 Maret 2013 pukul 14.15.
[6] H. Abdul Jamil, dkk, op. Cit., hlm. 6.
[7] Dr. Zakiah Daradjat, dkk, op. Cit., hlm. 44.
[8] Priyohutomo, Sejarah Kebudayaan Indonesia  Jilid II, (Jakarta: J.B. Walters, 1953), hlm. 10.
[9] H. Abdul Jamil, dkk, loc. Cit.
[10] Dr. Zakiah Daradjat, dkk, op. Cit., hlm. 45.
[11] Diakses dari http://sallykuweir.blogspot.com/2010/04/perkembangan-sejarah-kepercayaan.html, pada tanggal 25 Maret 2013 pukul 14.27.
[12] Dr. Zakiah Daradjat, dkk, op. Cit., hlm. 35-36.
[13] Menurut Babad Tanah Jawi (abad ke-19), menceritakan bahwa nama asli dari Nyai Roro Kidul adalah Ratna Suwinda putri dari seorang raja Pajajaran yang bernama Raja Mudingsari. Sedang menurut versi masyarakat Yogyakarta, Nyai Roro Kidul adalah gadis yang buruk rupa putri dari Begawan Abdi Waksa Geni. Oleh karena itu ia diperintah ayahnya untuk mandi dan bertapa di laut selatan. Nyai Roro Kidul juga dipercaya menjadi “istri spiritual” bagi raja-raja Mataram Islam (Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta).
[14] H. Abdul Jamil, dkk, op. Cit., hlm. 9.
[15] Dr. Zakiah Daradjat, dkk, op. Cit., hlm. 98.
[16] Ibid.
[17] Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1973), hlm. 318.
[18] Ibid.
[19] Dalam Kamus Ilmiah Populer, mana artinya kekuatan ghaib; reaksi primitif manusia terhadap timbulnya sesuatu, sehingga menimbulkan sifat takut, kuatir, cemas, hati-hati, dll.
[20] M. Dahlan Al Barry, op. Cit., hlm. 112.
[21] Dr. Zakiah Daradjat, dkk, op. Cit., hlm. 109.
[22] Fetish adalah benda-benda yang mengandung mana.
[23] Dr. Zakiah Daradjat, dkk, op. Cit., hlm. 110.
[24] Ibid., hlm. 106.
[25] Ibid., hlm. 47-49.
[26] Kultus; penghormatan resmi, ibadat, penghormatan secara berlebih-lebihan kepada orang atau benda.
[27] Dr. Zakiah Daradjat, op. Cit., hlm. 48.